Senja Kelana
Senja Kelana.
Hari itu mata kita bertemu, dan ke dalam hatiku kau bertamu.
Suaramu mengalun
syahdu bagai sebuah lagu yang ku suka tempo dulu.
Hari itu aku
berjanji untuk terus menjagamu.
Tak akan kubiarkan sesiapa menyakitimu.
Tak akan kubiarkan sesiapa menyakitimu.
Senja Kelana.
Esok lusa ku renta, pun tak akan kubiarkan kau terluka.
Gelak tawamu
adalah surga tak bernama.
Bahkan sampai nanti daku
menutup mata, kau tetaplah yang paling berharga.Kunamai dirimu Senja Kelana.
Bersama senja terbanglah bebas di angkasa.
Jangan pernah
terkurung duka
Jangan pernah
terbelenggu lara
Jika nanti daku sudah tiada, bersama nama, ku titipkan banyak do’a.
---
BRAAKK!
Aku membanting pintu kamarku dengan keras, sengaja, biar saja.
“Lana, kamu ga sopan ya Ibu lagi ngomong
ngeloyor begitu.”
Bodo amat, umpatku dalam hati, pun
mengunci pintu.
“Cucu kesayangan Bapak tuh, kelamaan dimanja ya
begitu, makin besar makin engga ada sopan santunnya…” ocehan Ibu dari luar terdengar
jelas olehku, “padahal lagi ada tamu.”
Saat masuk ke ruang tamu tadi, aku melihat seorang pria dengan kemeja rapi duduk mengobrol dengan Kakek. Perasaanku langsung tidak enak, tidak lagi, gumamku sambil mengambil langkah lebar, tujuanku satu, kamar.
“Lana, sini nak, ini ada…”
Aku tidak peduli dan aku pura-pura tuli.
“Lana!” Aku mendengar langkah kaki yang
terburu-buru mencoba mengejar langkah panjangku yang tak mau diganggu.
Satu jam berlalu.
Aku keluar kamar dan segera menuju dapur, haus.
Aku meneguk air langsung dari botolnya.
“Duduk, nanti tersedak” suara Kakek.
“Cucu kakek sudah mau enam belas tahun saja ya,
tidak terasa” lanjut Kakek, aku nyengir saja.
Aku duduk di sebelah Kakek, beberapa lama kami
hanya terdiam. Kakek membaca suasana hatiku, beliau tidak banyak bicara, hanya
tangannya yang sedari tadi mengelus rambutku.
“Lana tidak suka ibu seperti itu. Ibu selalu
bilang itu untuk Lana, untuk Bang Fadlan, untuk Mas Fadli. Itu hanya alasan.
Kalau memang alasan ibu menikah lagi adalah untuk kebahagiaan anak-anaknya,
lantas kenapa ibu tidak pernah bertanya apa pendapat kami tentang
pernikahannya, kenapa selalu saja tiba-tiba seperti tadi? Tahu-tahu Lana sudah punya
calon bapak baru lagi.”
Kurebahkan kepalaku di atas meja, kakek masih di
sana mendengarkan.
“Ibu menangis. Lana tidak suka. Kenapa ibu harus
pura-pura lemah seperti itu? Apa Lana berdosa Kek, jika terkadang sekelebat
Lana ingin ibu hilang saja.”
Aku membuang nafas, memejamkan mata dengan
posisi kepala yang masih rebah di atas meja.
“Kalau seperti yang ibu bilang, ini semua demi
kami, anak-anaknya. Kalau semua ini demi kebahagiaan kami. Lana tidak perlu
kehilangan Bang Fadlan dan Mas Fadli. Mereka berdua pergi dari rumah pun karena
tidak suka sama kelakuan ibu. Malu.”
“Kalau Lana, malu tidak?” Kakek bertanya dengan
suaranya yang menenangkan. Aku menggangguk lemah.
“Malu” aku yakin suaraku terdengar bergetar “…
tapi Lana juga tidak tega ninggalin ibu” air mataku pun mengalir.
---
Aku membenamkan wajah di antara dua lutut yang
terpaut, menahan sakit dari luka tak berbalut.
“Lana, jika Kakek sudah tidak ada, jangan pernah
tinggalkan ibumu, dia tidak punya siapapun selain kamu.” Pesan kakek malam itu.
Namaku Senja Kelana, dan malam ini aku mengantar
kakek menuju surga bersama ribuan do’a.
---
#30HariMenulis
Challengen Day 11
Jumlah kata: 500
Cerita sebelumnya (Bapak untuk Lana) di sini.
Komentar
Posting Komentar