A Boy Called Billy

deviantart-so-sad-by-mazaises

“Bau amis!”

“Anak ikan!” 

“Bajak laut!”

“Dasar cacat!” 

Ejekan itu ibarat camilan sehari-hari bagi Billy, seorang bocah berusia dua belas tahun yang lahir dalam keluarga penjual ikan di sebuah desa dekat pesisir pantai. Dirinya memiliki kelainan fisik, kaki kirinya lebih kecil dari kaki kanannya karena penyakit polio yang ia derita saat berusia 4 tahun. Sedangkan mata sebelah kanannya tidak bisa melihat semenjak ia dilahirkan sehingga kelopak matanya tertutup seiring pertumbuhan usia Billy, membuat anak-anak seusianya kerap melemparkan ejekan-ejekan yang menyerang fisik Billy.

Tidak hanya anak seusianya, terkadang orangtua mereka pun memandang rendah pada Billy, tak ayal mereka melarang anak-anak mereka untuk bergaul dengan Billy, bahkan oleh orangtuanya sendiri dia sering dimarahi dan dibentak dengan kasar.

“Pegang pisaunya dengan benar, dasar anak tidak berguna!” Bentak sang ayah, dengan tangan kecilnya yang bergetar Billy mencoba menggenggam gagang pisau daging yang cukup berat baginya itu.

---

Sore itu Billy sedang memainkan mobil-mobilan dari bekas kulit jeruk bali yang dibuatkan oleh kakak lelakinya yang terpaut usia dua tahun dengannya, di lapang bola dekat pantai, tempat biasanya anak-anak bermain, saat tiba-tiba segerombolan teman sekolahnya menghampiri Billy dan mulai merundungnya. 

“Heh cacat! Minggir sana!” Bocah yang terlihat seperti ketua gerombolan itu menendang mobil-mobilan Billy.

Billy tidak menghiraukannya dan langsung mengambil mobil-mobilan yang terpental tidak jauh dari tempat semula. 

“Dia tidak menghiraukanmu Angelo! Hahaha berani juga dia.” Anak lain mulai mengompori.

“Anj*ng! Dasar cacat!” Angelo yang merasa harga dirinya terinjak pun mendorong Billy yang berjalan tak seimbang. Billy terjatuh ke tanah, dia diam saja dan berusaha bangkit tanpa niat melawan, dengan polosnya dia meraih mobil-mobilan miliknya dan memainkannya kembali. Tak ayal hal itu membuat Angelo makin berang. 

“Heh cacat, kau tuli ha? Ku suruh kau pergi, dasar bau amis! Menjijikan!”

Crak! 

Mobil-mobilan Billy diinjaknya hingga lantah. Billy mulai bereaksi dan secara spontan menggigit kaki Angelo.

“Aaaaaaaarrrg!!” Erang Angelo seraya menendang Billy keras hingga Billy tersungkur dengan ujung bibir yang berdarah. 

“Sialan! Dasar cacat!” Angelo yang murka pun mengajak teman-temannya memukuli Billy, Billy terdiam tanpa perlawanan. Dilihatnya dari sela kaki anak-anak yang menendanginya sesosok perempuan yang ia kenal sedang menyaksikan adegan itu tanpa kata, dengan sigap Billy segera menutupi wajahnya dengan tangannya, ada perasaan malu di sana.

Billy yang lemah, siapa yang akan suka? 

---

“Siapa yang memukulimu?” Kakaknya panik melihat sang adik pulang dengan kondisi babak belur. Billy diam saja. 

“Dasar anak ini, sudah tahu kau itu sering diganggu, kenapa pula kau keluar rumah. Cari masalah saja.” Ucapan ibunya sama sekali tidak berniat menghibur. 

“Aku lapar Bu.” Rengek Billy parau. 

“Kau menjijikan. Sana bersihkan dirimu dulu baru kau makan. Makan dengan ikan saja, daging sapi itu buat kakakmu, paham?”

Billy mengangguk lemah, padahal dia sangat ingin sekali makan daging sapi, dia sudah bosan makan ikan, atau mungkin sudah muak. 

---

Malam itu Angelo baru saja pulang sehabis bermain dari rumah temannya, bocah manja yang tidak pernah ditegur orangtua. Dia tersungkur di atas ranjangnya, kelelahan. 

Angelo terlelap lama, sampai tiba-tiba dia terbangun tengah malam karena suara samar yang dia dengar mengusik mimpi indahnya.

“Jam berapa sekarang?” Angelo berusaha mencari jam alarm di atas mejanya, jam satu pagi, dia menggeliat. 

“Hei Angelo.” Suara itu cukup pelan seperti sedang berbisik.

Angelo terduduk dan langsung mencari sumber suara, gelap, apa dia salah dengar? Angelo menggelengkan kepalanya, berusaha mencari kesadaran. 

“Perasaanku saja” gumamnya.

“Hei Angelo.” Suara itu berbisik lagi. 

Kali ini sesosok tubuh keluar dari sudut gelap kamar itu, Angelo memicingkan matanya, berusaha melihat dengan jelas.

“Billy…”

Sosok itu menyeringai dan berjalan menuju cahaya bulan yang memasuki kamar Angelo melalui jendela yang terbuka. Seketika itu Angelo membeku, pupilnya melebar, anehnya dia sulit berteriak, pun bergerak.

Billy terkekeh.

“Sssst, dengar! Aku ingin memberitahu sesuatu. Ini akan seru, aku tidak menceritakan hal ini pada siapapun, tapi aku ingin membaginya denganmu…” Billy tersenyum.

“…”

“Aku, baru saja menghabisi ayahku…”

“…”

Aku memotong tangan dan kaki ayahku. Dia selalu bilang jika aku harus memotong dengan benar, dia memperlakukanku seolah aku ini bodoh. AKU CACAT BUKAN BODOH! Aku selalu berusaha keras membuat ayahku bangga, makanya tadi saat ayahku masih tertidur, aku memotong kakinya, dia tertidur lelap sekali karena aku memberinya obat tidur yang ku ambil dari laci ibu. Aku sempat kaget. Kau tahu apa? Ayahku terbangun saat aku sedang memotong kaki kirinya…

“Apa yang kau…” Angelo tercekat.

“Tapi aku senang dia terbangun, aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku memotong sesuai yang dia ajarkan, tapi… dia berteriak. Aku tidak suka. AKU TIDAK SUKA DIA BERTERIAK PADAKU! Tidak suka… jadi aku langsung menusuk lehernya dan hi hi hi dia langsung terdiam.”

“Kau gila…” wajah Angelo memucat.

“Tidak. Aku anak yang baik dan berbakti. Mereka saja yang pilih kasih, mereka lebih menyayangi kakakku yang sempurna. Orangtuaku… anak-anak di Desa… bahkan Mikaila…”  mata Billy memancarkan kepedihan, “… kalian semua menyukai anak yang sempurna. Apa salahku? AKU JUGA TIDAK INGIN DILAHIRKAN CACAT!” nadanya meninggi.

“Ibuku… dia tidak pernah memberiku susu atau makanan yang enak, selalu kakakku yang diutamakan. Dia sangat berisik karena aku dianggap sering mengacaukan pekerjaannya di rumah. Dia bilang aku merepotkan, aku tidak suka tatapan ibu padaku, padahal dia yang melahirkanku, tapi dia selalu memandangku dengan jijik…” suaranya kembali terdengar sedih.

“Sekarang tidak lagi, aku juga sudah menidurkan ibu dengan tenang. Ku harap dia tidak usah bangun, kalaupun dia bangun, setidaknya tidak ada lagi mata yang akan menatapku dengan jijik” Billy tersenyum lagi.

“Hentikan Billy…

“Belum. Aku masih ingin cerita lagi… AKU MASIH MAU CERITA!”

…”

“Kakakku, dia selalu baik padaku, dia selalu menunjukkan kasih sayang padaku. Aku menyukai kakakku karena dia selalu melindungi adiknya yang cacat ini… tapi dia mengkhianatiku…” lagi-lagi tatapannya berubah sedih, “..dia pikir aku tidak tahu jika dia berpacaran dengan Mikaila? Dia merebut kekasihku!” lanjutnya kemudian dengan penuh amarah. 

“Mikaila bukan kekasihmu…”

“DIAM! DIAM! DIAM!” Billy menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.

“A… Aku meninggalkan kakakku dengan sebelah kakinya tadi, hihi, aku yakin Mikaila akan segera mengakhiri hubungan mereka, karena sekarang kakakku juga cacat, sama seperti aku. Hahahahaha” 

“…”

“Oh iya, Angelo. Kau dan anak-anak yang lain pun sering merundungku, mengejekku, memukuliku, kalian jahat sekali padaku. Padahal aku hanya ingin bermain dengan kalian, kenapa kalian begitu jahat?” 

“Tidak, Billy… Maafkan kami…”

Billy berjalan mendekati ranjang Angelo perlahan, Angelo ingin berlari tapi kakinya sulit sekali digerakkan. 

“Hei, Angelo…” Billy menyeringai, nada bicaranya sudah kembali tenang.

“…”

“Apa kau ingin tahu bagaimana rasanya menjadi cacat?” Tanya Billy dengan senyum di matanya dan sebilah pisau daging berlumur darah di tangan kanannya.


#30HariMenulis Challenge Day 13
Jumlah kata: 1.080

Komentar

  1. AKU SUKAK INI. antara emosi yang terlambat, atau terakumulasi dan sukar diidentifikasikan. ada sedih, lara, dan benci sekaligus. COCOK.
    bonusnya:
    "kuharap" itu dari "aku harap". klo kebiasaanku medsosan memang, kek orang gitu, nulisanya 'ku harap', itu ngak baku. sih. gitu doang. heuheuw.
    klo gambar terakhir, kreditnya ngak ada? kalaupun bahkan karya sendiri, biasanya sih tetap dicantumkan. ya sambil pengumuman karyanya, sekalian. hee.
    judulnya yang berbahasa Inggris, dan pilihan namanya, dan sensasi rasanya pada ketika Billy telah menjejak titik nadir dan berbuat semwa ituh, jadi berasa kayak terjemahan. ori, kan? *nanyak beneran sih, monmaap eah bukan menuduh, banyak kok yang novel2 itu judulnya bahasa Inggris isine boso endonesah. ahahahh.

    BalasHapus
  2. Akhirnya baru berani baca ini setelah beberapa hari hahahaa...
    Serem!!!!! Horor padahal ga ada hantunya. Ini thriller apa horor ya? Masa bodo sih aku, yang penting serem >.<

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini