Kolom Surat Kabar

“Danar…” suara itu lagi. 

Berhentilah. Kumohon. 

“Danar…” 

Aku mendengar tawanya bergema dari kejauhan.

Kumohon jangan ke sini.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Suara itu menghilang.

Peluh membanjiri sekujur tubuhku, nyeri sekali di perut kananku. Aku menggigit telapak tangan kananku sementara tangan kiriku menekan luka yang tidak berhenti mengalirkan darah dari sobekan di perutku.

Seseorang datanglah. Tolong aku.

Tidak, aku mulai merasa kedinginan, pandanganku mulai kabur. Jam berapa sekarang? Harusnya Ayah sudah pulang. Ku harap dia segera datang, rasanya aku sudah tidak bisa menahan sakit ini lagi.

Kriet. Aku mendengar derit dari pintu yang dibuka perlahan.

Tidak. Oh Tuhan. Tidak.

“Hihihi…” Wanita gila itu.

Aku menahan nafas agar tidak ada suara yang bisa ku timbulkan, aku harus bertahan, setidaknya sampai Ayah pulang.

“Danar…”

Mengapa suara wanita itu terdengar dekat sekali? Apa dia sudah menemukan aku? Apa dia…

“KETEMU!”

Mataku sakit karena cahaya yang masuk sekaligus. Terdengar suara tawa yang begitu nyaring hingga kupingku sakit dan jiwaku merasakan sensasi kengerian yang luar biasa. Persembunyianku ditemukan.

Wanita itu berdiri menatapku dengan tatapan seakan merasakan penyesalan. Palsu. Tidak ada satu pun dari diri wanita itu yang asli. Dia menjalani kehidupan seolah dia adalah bagian dari keluarga kami. Dia merasa memiliki Ayah, dia merasa memiliki aku, dia gila, benar-benar gila.

“Danar… hihihi.”

Sepertinya aku sudah kehilangan banyak darah. Wanita itu menggengam pisau dengan darah yang masih melekat di setengah bagian pisaunya. Itu darahku.

“Ayo, sini keluar, hihihi.”

“PERGI! JANGAN DEKATI AKU!”

Sekuat tenaga yang tersisa aku mengusirnya, tentu saja itu hanya kesia-sian semata, hanya saja aku ingin terus berusaha, berharap keajaiban datang  padaku saat ini.

Aku bisa melihat amarah menguasai wanita gila itu. Dengan kasar dia menarikku keluar, dengan sisa tenaga yang tak seberapa aku memberontak, aku tidak boleh tertangkap saat ini, tidak sekarang, tidak sampai Ayah atau Ibu datang.

Namun cengkraman wanita itu tepat mengenai lukaku yang menganga, dia meremasnya kuat, dia melakukannya dengan sengaja sembari tertawa, aku menjerit kesakitan dan akhirnya kehilangan keseimbangan.

BUGH!

Tubuhku menghujam lantai dengan keras, ugh, lukaku, sakit sekali, tolong. Beberapa detik kemudian wanita itu menyeret badanku dengan kasar hingga terdengar suara decitan karena kulitku yang berbalut peluh bergesekan dengan lantai keramik yang dingin.

“Aaaarhhh!”

Darah mengalir lebih banyak karena luka yang terkoyak. Aku hampir tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Tidak, sepertinya aku benar-benar akan kehilangan kesadaran di fase ini.

Danar... Danar! Bangun! Bangun!

Sementara tubuhku masih diseretnya entah kemana, aku pun berhalusinasi. Jiwaku berusaha menyadarkanku namun tubuhku menolak untuk melakukan tindakan apapun. Aku kelelahan.

Apa ini akhir dari hidupku? Aku tidak tahu, mungkin aku akan mati saat ini, Ayah, Ibu, kalian di mana? tolong aku.

Kemudian gelap.

---

[Kolom surat kabar]

Seorang bocah lelaki berinisial DS ditemukan meninggal dalam tempat sampah dengan luka tusukan di bagian kanan perutnya. Korban meninggal karena kehilangan banyak darah. Kuat dugaan jika pelakunya adalah pengasuhnya sendiri.


Saat ini status pelaku masih buron.

---
#30HariMenulis Challenge Day 28
Jumlah kata: 472

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy