Detik Terakhir (Final)


Sudah tiga hari berlalu sejak Rio mengatakan perihal hari kematian untukku dan untuknya, dasar sinting. Aku mulai kelelahan, sepertinya aku mengalami dehidrasi dan hipotermia ringan. Rio tidak memberiku setetes air pun sejak hari itu dan aku bisa merasakan udara dingin yang teramat sejak kaca jendela ruangan ini sengaja dipecahkan oleh Rio.

Aku tidak tahu lokasi gedung ini, sepertinya hanya bangunan terbengkalai di pinggiran kota, entah, hanya asumsiku. Setiap hari aku selalu mencari celah untuk melarikan diri, namun selalu gagal, dan kali ini sepertinya aku tidak memiliki kekuatan tersisa lagi.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Rio mengangkat daguku dengan kasar, kepalaku pusing untuk menjadi sadar.

“Haus…” susah payah ku keluarkan suara, tidak ada tenaga sama sekali.

“Lucu. Katanya orang yang akan mati selalu meminta air karena kehausan. Sekarang aku bisa menyaksikannya sendiri.” Rio mencibir.

Dasar tidak waras.

“Tunggulah sebentar, aku harus mempersiapkan sesuatu.” Dia berlalu.

Aku mendengar samar suara Rio dari luar pintu yang sengaja dia buka, dia seperti mengobrol dengan seseorang, tidak jelas apa yang dibicarakannya, hanya terdengar seperti gumaman saja. Tapi aku tidak mendengar suara orang lain selain suara Rio. Tak lama dia kembali masuk, sendirian.

Rio mengenggam dua utas tali sama panjang, dia duduk dan mulai membuat simpul dengan tenang.

“Seharusnya hari itu kau tidak mempermalukan aku,” ujar Rio sembari meneruskan pekerjaannya.

“Apa maksudmu?” Aku kebingungan. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu alasan dia menculikku sore itu.

“Hari itu seharusnya kita berbaikan saja dan kembali seperti dulu. Tapi kau malah mempermalukan aku.” Nadanya dingin, penuh rasa jijik di dalamnya.

“Kamu gila. Apa karena undangan pernikahanku?” ku harap aku salah.

Rio menghentikan pekerjaannya, baru satu tali berhasil dia simpul, tunggu, aku tahu bentuk simpul itu, tidak mungkin…

“Ada banyak orang di sana, aku bisa merasakan mata semua orang menatapku saat itu. Mereka melihatku dengan tatapan penuh olokan, mereka menertawakanku… MEREKA MENCEMOOH AKU!” tatapan itu lagi, aku pernah melihat tatapan itu saat Rio meracuni kucingnya sendiri, salah satu alasan yang membuat aku memutuskan hubungan dengannya, dia mengerikan.

“Tidak ada yang menatapmu saat itu, Rio.” Suaraku penuh tekanan namun tetap bergetar, aku bisa merasakan jantungku mulai berdetak tidak normal.

“KAU PENYEBABNYA, DASAR JALANG!”

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipiku, dan bibirku yang kering pun mengeluarkan darah dari pecahannya. Kepalaku semakin pusing.

“Lihat aku,” Rio menengadahkan kepalaku dengan paksa, “kau terluka…” raut wajahnya berubah sedih. Dia mendaratkan satu ciuman di bibirku, lidahnya menjilat darah yang keluar dari pecahan bibirku, perih, aku meringis.

Tak lama dia melepaskan ciumannya, dia menatapku lekat “seharusnya tidak seperti ini”. Aku menatapnya penuh kebencian dan rasa jijik.

Memang seharusnya tidak, brengsek.

“Jangan menatapku seperti itu… JANGAN MENATAPKU SEPERTI ITU! WANITA JALANG! PELACUR!” Kali ini bukan hanya tamparan, tapi pukulan bertubi-tubi menghantam rahangku, sesekali dia menjambak rambutku, menamparku lagi, kemudian menghantam wajahku dengan tinjunya.

Tidak ada yang bisa aku lakukan, tidak ada. Tapi aku tidak ingin mati seperti ini, tidak ingin…

Setelah puas memukuliku, Rio kembali ke tempat duduknya, dia mulai membuat simpul di tali yang satunya. Dua tali itu akhirnya selesai disimpul.

Dengan wajah babak belur, pandanganku pun mulai kabur, tapi aku masih bisa melihatnya dengan jelas, tali itu, aku bisa menebak apa yang akan dilakukannya untuk kematian kami.

Aku meneteskan air mata tanpa ku ingin. Ingin rasanya berteriak, ingin rasanya berontak, dadaku sakit, sesak sekali, tapi tubuhku tidak mampu mengeluarkan emosiku. Aku tidak pernah tahu jika kematianku akan semenyakitkan ini.

Ku pikir aku akan mati di pembaringan yang layak, dengan tenang, di kelilingi oleh orang-orang yang kucintai dan mencintai aku.

“Selesai.”

Degh.

Rio menarik kursiku, menyeretnya menuju titik eksekusi, aku berusaha menggelengkan kepalaku yang terasa begitu berat.

Tidak. Tidak. Tidak.

Degh.

Di atas kepalaku, tali itu menggantung.

---

Rio melepaskan tali yang melingkari tubuhkku, berganti dengan ikatan lebih kencang di pergelangan tangan dan kakiku. Aku tidak mampu berontak, aku tidak punya tenaga, air mataku mengalir lagi. Isakan pelan yang keluar dari bibirku lama kelamaan mulai mengeras, serak, parau. Rasa perih di bibir dan wajahku tidak lagi kuhiraukan, aku menangis sekencang yang bisa kukeluarkan.

Aku ingin pulang, Ibu…

Aku menangis sejadinya.

“DIAM!” Lelaki sakit jiwa itu meneriakiku lagi, aku malah semakin menjadi, menjatuhkan diri dari kursi, menggelepar di atas lantai dingin tak berhati.

Aku tidak peduli lagi, biarkan aku menangis seperti orang gila, biarkan aku menjerit sampai tenggorokanku sakit, biarkan aku… biarkan aku… biarkan aku menggila sebelum akhirnya meninggalkan dunia. Biarkan…

Bugh.

Satu tendangan kuat mengantam tepat di ulu hati, membuatku memuntahkan darah dan terbatuk merasakan nyeri. Aku mengerang kesakitan, kepalaku pun berkunang-kunang.

“Ku suruh kau diam, jalang.”

Rio berjalan meninggalkan ruangan dan aku yang masih terbaring di lantai. Tak lama aku melihat Rio menyeret masuk seseorang, sepertinya laki-laki, kaki dan tangannya di ikat seperti aku, hanya saja posisi tangannya terikat ke belakang, kedua mata lelaki itu di tutup dengan kain dan mulutnya di sumbat.

Siapa dia?

Rio memposisikan orang itu berhadapan denganku, jarak kami terpisah sekitar satu meter. Laki-laki itu terduduk di atas lututnya yang terlipat, aku lihat lutut dan pahanya penuh luka, seperti bekas pukulan benda tumpul.

Siapa lelaki itu?

Detik berikutnya Rio membuka penutup mata laki-laki itu dan pandangan kami beradu. Seketika tangisku pecah.

“AAAAARRGHH! AAA…” teriakanku lambat laun berubah menjadi isakan menyakitkan, aku memejamkan mataku kuat-kuat, tidak ingin beradu pandang dengan lelaki yang wajahnya menjadi pucat pasi dengan mulut terkunci, tapi aku masih bisa mendengar erangan tertahan dari laki-laki itu. Hatiku sakit.

“HAHAHAHAHAHA” manusia tidak waras itu terbahak.

“BANGSAT KAMU RIO, BANGSAT!” Kuhabiskan seluruh sisa tenagaku untuk memakinya.

“Hari ini, harusnya kalian menikah. Selamat ya.”

Rio bertepuk tangan dan terpingkal, gila, benar-benar gila.

---

Jangan lihat aku. Jangan lihat aku.

Aku diberdirikan di depan tali yang menggantung. Aku memanfaatkan setiap detik yang tersisa untuk menatap laki-laki yang seharusnya menjadi suamiku hari ini.

Kamu kurus sekali Shaka, sudah berapa hari kamu tidak makan, hm?

Air mata itu mengalir lagi. Aku menatapnya lembut, memberi isyarat bahwa aku… tidak apa-apa… sungguh.

Tu-tup-ma-ta-mu. Ku gerakkan bibirku tanpa suara. Sekuat tenaga aku menahan agar tangisku tidak meledak lagi.

Shaka mengerang keras, memberontak dalam keputusasaan mendalam. Kakinya dilumpuhkan, dia tidak bisa berbuat lebih banyak, dia bahkan tidak mampu menggerakkan badannya mendekat padaku. Aku menggeleng pasrah, aku hanya ingin dia berhenti memaksakan diri.

Ikhlaskan aku.

Aku memejamkan mata, dan tali itu dilingkarkan ke leherku.

---

Shaka.

Aku mendengar setiap suara yang mengerikan itu. Aku menyaksikan tubuh mungilmu yang penuh luka menggelepar hebat melawan setiap inci roh yang sedang dicabut dari dalam tubuhmu.

Tanganmu terkepal kuat menahan sensasi paling menyakitkan di sekujur tubuhmu itu. Bisa ku lihat kuku-kuku jarimu menusuki telapak bagian dalam dari tanganmu hingga kulitnya hampir robek.

Sesakit itu kah?

Seadainya aku bisa menggantikanmu tergantung di sana, seandainya saja…

“Kau mengerikan, sayang.”

Akhirnya aku dapat melepaskan sumbatan yang sedari tadi membuatku tidak nyaman, pun dengan talinya yang memang tidak diikat dengan benar.

“Apapun, untuk menghentikan pernikahanmu, sayang.” Rio tersenyum lebar, dan aku membalas senyumannya.

---
#30HariMenulis Challenge Day 20
Jumlah kata: 1.123

Baca penggalan cerita sebelumnya di sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy