Dari Perut jadi Cemberut



Hallo, Perut.

Hayooo jangan pada tahan nafas gitu ah.

Kamu saja mungkin Mbak, kita mah engga ih.

Oh, yaudah sih, aku baik. (emot nangis) 

Kalau lagi berdiri gitu atau duduk tegak, perut saya cukup rata, tapi kalo lagi duduk malas dan rileks entah kenapa muncul dua lipatan yang membuat saya berguman “oh gumpalan apa ini?”


Perut itu selalu jadi bahasan sensitif baik di kalangan wanita maupun pria, terutama wanita sih yang mana hatinya akan tercubit walaupun seuprit jika ada yang membahas tentang berat badan, apalagi bagian perut. 

Saya punya kenalan dekat, menurut saya dia sudah sangat ramping, dia sudah menikah dan melahirkan seorang putri, untuk punya badan seramping dia saya yakin banyak orang yang rela sampai operasi sedot lemak, misal. Dia dikaruniai naga di dalam perutnya (saya mengistilahkannya seperti itu), jadi sebanyak apapun dia makan, nyemil, bahkan setelah melahirkan, ya badannya segitu-segitu saja, ngiriiiiiiii.


Tapi dasar namanya manusia, si temen ini kalau kumpul sama kita-kita, sahabatnya, selalu saja membahas bentuk badan orang, jenis teman yang minta dikurung di kandang ayam biar dia komunikasi saja sama ayam, siapa tahu menghasilkan telur, setidaknya telur lebih bermanfaat.

“Eh sekarang kamu gendutan ya? 

“Kok perutnya sekarang buncit sih?”

“Badannya sih kecil, tapi perutnya buncit ya? Hihi.” 

“Pahanya gede ih!” Eh dia bahas paha juga, kesel.


Itu salah empat dari komentar yang sering dia ajukan tentang fisik seseorang (perhatian banget sih kamoh!) dan dengan hati getir kami pun selalu menjawab (sok) santai yang tak lupa membubuhkan sedikit senyum di bibir yang mengering. 

“Hahahaha iya nih.”

“Hahahaha suami aku sukanya yang montok sih.” 

“Hahahaha lumayan lah, artinya kita bahagia kan?”

“Ah perasaan badanku segini-segini saja.” Muka datar, sangat saya, eh. 

Sengaja kita jawab begitu saja, biar tidak jadi panjang, tapi dia sering memperlihatkan tatapan yang seakan berkata, tanya gue juga donk, puji gue kek, kami mingkem saja, terserah.

“Kalau aku sih segini-segini aja, eh malah agak gendutan ini sekarang, hahahaha” Sungguh kami tak ingin tahu gosip yang bertentangan dengan fakta itu, makanya kami tidak banyak memberi tanggapan.

Kalau ukuran segitu kamu bilang gendutan, terus kita apa donk? Tumpukan daging kurban? Sleding juga neeeeeh. Maaf itu suara hati saya, memang kadang suka tidak terkendali.

Nah, balik lagi ke pembahasan perut, bersyukurlah kalian-kalian yang “punya naga” dalam perutnya, bersyukurlah kalian yang masih bisa menikmati makanan tanpa khawatir menjadi gemuk, karena masih banyak orang di luaran sana yang berjuang keras untuk bisa membentuk perut sempurna bak papan gilasan atau cokelat kotak-kotak.

Barangkali mereka sudah mencoba tapi tetap sia-sia.


Barangkali mereka memang belum punya waktu untuk merutinkan olah raga.


Barangkali mereka justru berbahagia dengan perut yang tak rata.


Barangkali, barangkali, masih banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya yang sepertinya bagi mereka tidak penting juga untuk dijelaskan dalam sebuah obrolan (apalagi saat reunian).

Kalau bertemu teman, apalagi yang sudah lama tidak berjumpa, sapalah dengan kalimat yang menyenangkan, hindari mengomentari fisiknya, kita tidak pernah tahu cerita apa yang tersimpan di balik fisiknya yang mungkin sudah berubah dari terakhir kita berjumpa.

Bukankah kita diajarkan untuk berkata yang baik atau diam?


#30HariMenulis Challenge Day 14
Jumlah kata: 495

All credit picture to Line Sticker di sini




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy