Detik Terakhir
Jam berapa sekarang?
Aku membuka mataku perlahan, kepalaku sedikit terasa pusing
dan badanku nyeri. Di luar sudah gelap, tapi aku tidak tahu apakah ini malam,
dini hari atau menjelang subuh.
“Kau sudah bangun.”
Aku menelan ludah. Kering. Haus sekali.
“Jam berapa sekarang?” Tanyaku pada lelaki yang duduk
berhadapan denganku, jarak kami hanya terpaut satu meter saja.
“Kenapa? Kau mau beribadah?” nadanya ketus.
Aku memejamkan mataku, membuang nafas pelan, “aku haus…” ku
beranikan diri mengatakannya.
Lelaki itu berdiri dari duduknya, berjalan mengambil botol air mineral yang tepat berada di sampingku. Dia membukakan tutup botolnya dan mendekatkan ujung botol itu pada bibirku. Baru saja airnya menempel ke bibirku, dia sudah menjauhkan botol itu dariku, aku mendelik.
Dasar brengsek.
“Jangan minum terlalu banyak. Aku tidak mau kau beralasan
ingin ke toilet lalu kabur. Kau sudah pernah melakukannya dan kau tahu itu
tidak berguna. Jangan coba-coba memakai trik yang sama padaku,” ocehannya
membuatku ingin meludahinya.
Sial. Aku benar-benar
kehausan.
Sudah berapa lama aku di sini? Sepertinya sudah dua hari
atau malah lebih? Aku tidak tahu bagaimana kabar keluargaku, aku yakin mereka sangat
khawatir saat ini, dan suamiku? Tidak, calon suamiku lebih tepatnya, aku yakin
dia sedang kebingungan. Maafkan aku, maaf.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Lelaki itu sudah duduk
kembali di kursinya.
“Apa kamu tidak tidur?” sebenarnya aku tidak ingin tahu,
hanya sekedar basa-basi untuk menghindari pertanyaannya tadi.
Dia menarik sudut kanan bibirnya ke atas, “Tidak, aku tidak
butuh tidur”.
“Rio, kenapa kamu melakukan ini? Kita sudah tidak punya
hubungan apa-apa. Kisah di antara kita bahkan sudah selesai sejak lama. Hentikan
semua ini, Rio,” ini adalah kali kedua aku membujuknya, dan respon yang ku dapat
darinya hanya gelengan dan senyum simpul yang tidak tulus.
Kemudian hening yang cukup lama.
“Besok, sudah ku tetapkan harinya.” Kalimat yang keluar dari
mulutnya memecah sunyi.
“Besok? Hari untuk apa?” tanyaku kebingungan.
“Kematian kita…” dan dia tersenyum.
Aku terbelalak, “gila kamu, Rio, lepaskan aku! Lepas!” aku
memberontak, membuat ikatan tali yang melingkari badan dan kakiku bergesekan
dengan kulitku yang tidak terlindung sehelai benang pun, perih, dan ya, aku
nyaris telanjang.
Rio bergeming. Lelaki ini benar-benar sudah tidak waras, “lepas,
Rio, lepas!” kuhabiskan sisa tenagaku untuk meneriakinya.
Tatapan mata Rio membuatku membeku, aku menggigiti bibir bawahku, berusaha menekan emosi yang meluap, air mataku bahkan hampir tidak berhasil ku bendung. Lelaki itu bersungguh-sungguh.
"Lepaskan aku..." terdengar seperti rengekan. Aku mulai putus asa.
Tatapan mata Rio membuatku membeku, aku menggigiti bibir bawahku, berusaha menekan emosi yang meluap, air mataku bahkan hampir tidak berhasil ku bendung. Lelaki itu bersungguh-sungguh.
"Lepaskan aku..." terdengar seperti rengekan. Aku mulai putus asa.
Siapa saja, tolong aku.
(Bersambung...)
---
#30HariMenulis Challenge Day 19
Jumlah kata: 395
Komentar
Posting Komentar