Lara Sari


Seumur hidup, adalah vonis yang diterimanya hari itu. Sari, usianya duapuluh sembilan tahun, ulang tahunnya seminggu sebelum dia menerima vonis tersebut. Kejahatan yang dilakukannya adalah membunuh suaminya sendiri.

Wanita itu terduduk di kursi pesakitan sambil menundukkan wajahnya, menangis. Beberapa orang di belakang terdengar mulai mencibir, terutama dari keluarga sang suami.

“Wanita setan kamu! Kamu bunuh anak saya! Setan kamu!” Ibu mertuanya memaki dengan penuh emosi sampai harus diseret keluar ruang persidangan.

Di kursi lainnya, di sudut belakang, seorang pria dengan rambut yang seluruhnya telah tertutup uban, menundukkan kepala, memejamkan kedua mata dan tanpa henti berdzikir, menyebut nama Tuhannya. Dia adalah ayah dari wanita yang duduk di kursi pesakitan itu.

“Bapak masih tidak percaya kenapa kamu melakukan hal itu nak…” Suara bapaknya yang renta terngiang-ngiang di telinga Sari hingga hari ini.

---

Sari berjalan dikawal oleh dua orang sipir wanita menuju sel di mana dia akan di tempatkan. Di setiap langkahnya pandangan Sari mulai kabur, ada lara bergejolak dari hatinya yang ingin segera meledak, namun dia berusaha keras menahannya. Pintu besi itu berderit saat dibuka, Sari pun kepayahan.

“Sari! Sari! Sari! Ya ampun!” Suara yang sangat dikenalnya mendekat dengan panik. Dengan sisa kesadarannya Sari memanggil nama itu “Mbak Ratna, sakit…” dan dia pun pingsan.

---

Sari.

Aku ingin bisa menutup telingaku seperti aku menutup mataku. Tapi aku tidak bisa melakukannya karena tanganku terikat, begitu pun dengan kakiku. Suara mengerikan itu begitu jelas terdengar di telingaku tanpa ada penyaring, yang bisa kulakukan hanya menutup kuat mataku dan menenggelamkan kepalaku diantara kedua lutut dan dadaku.

Kakiku sakit, tanganku sakit, namun hatiku lebih sakit.

Hentikan! Ku mohon, hentikan!

Suaraku tercekat, aku bahkan tidak mampu untuk berteriak.

Kenapa?

Kenapa dia melakukan ini?

Entah berapa lama waktu berlalu, suara itu mereda, suara mengerikan itu semakin mereda, kemudian berganti keheningan yang lebih menakutkan. Aku tidak ingin mengangkat kepalaku, aku tidak ingin menatap matanya yang tidak berbelas kasihan.

Tubuhku bergetar hebat seperti bocah malang yang kedinginan di luar setelah kehujanan.

“Arh…” aku mengerang saat rambutku dijambak dan wajahku terangkat, membuat mataku bersirobok dengan matanya, dia menyeringai puas, aku membuang muka.

“Kenapa, hm? Lihat gua! Ini namanya kepuasan, lu kudu paham!”

Jijik. Aku terlalu jijik untuk melihatnya, dia tidak berbusana, dia berdiri di hadapanku dengan kegagahan yang dianggapnya menawan, peluh membanjiri sekujur tubuhnya, seringai di bibirnya menyiratkan kepuasan yang semakin membuatku muak, aku ingin meludahinya saja.

“Nih bayaran lu, gua puas! HAHAHAHA.” Dilemparnya lembaran uang seratus ribu di atas ranjang dekat seorang wanita yang tengah merapikan bajunya, si wanita pun mengerling nakal, aku ingin muntah.

“Makasih yaa.” Pandangan kami beradu saat wanita itu berjalan menuju pintu, tidak ada gurat penyesalan di sana, keterlaluan.

Hening. Lelaki itu menghabiskan dua batang rokok, masih telanjang. Ikatanku mulai terasa perih dan meninggalkan bekas merah di sekitar kulitku.

“Mas, ini sakit, lepaskan… tolong…” akhirnya aku bisa mengeluarkan suara setelah kupaksa, walau parau.

“Sekarang, lu yang harus layanin suami lu ini.” 


Tuhan, kenapa tidak Kau cabut saja nyawaku saat ini?

---

Sel tahanan wanita.

“Kenapa aku harus mengalami semua ini… kenapa?” Sari terisak dipelukan Ranti, teman satu selnya.

“Sabar ya Sari, Allah terlalu sayang sama kamu, makanya kamu diberi cobaan seperti ini…” Ranti mencoba menenangkan.

Sari tergugu, tangisannya tidak bisa lepas namun tercekat ditenggorokan, jemarinya mencengkram kencang kemeja Ranti hingga terlihat pucat pasi. Ranti mengelus rambut Sari, menyiratkan kasih sayang bak seorang ibu yang ikut merasakan sakit hati atas kemalangan yang menimpa sang buah hati.

“Mbak Sari kenapa?” Bisik seorang tahanan di sudut ruangan, bertanya pada tahanan lainnya yang berada di dekatnya.

“Katanya keguguran…”

Hening. Hanya isakan tertahan Sari yang terdengar kembali.

---

Sari. 

Ingatan bisa menjadi racun kehidupan.
Sekuat apapun melupakan, tetap tidak bisa tersembuhkan.
Walaupun penyebabnya telah mati, ingatan itu tetap abadi.

Kecuali, jika aku ikut mati…

---
#30HariMenulis Challenge Day 16
Jumlah kata: 615

Inspired by true story. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy