Ini Dilanku, Tahun 2018.
Sudah jam sebelas malam, dan aku masih sibuk berguling di
atas kasur minimalisku. Besok ada kelas pagi, aku harus cepat tidur, jarak
rumah dan kampus yang terbilang lumayan membuatku harus berangkat lebih pagi
demi tidak diusir dari ruang kelas karena terlambat, huft. Kupaksa mataku
terpejam, tapi gagal.
“Agh!”
Aku menendang selimut, sebal, ini gara-gara tadi sore aku
menonton film horor di bioskop. Selalu saja berakhir seperti ini, gelisah. Rasanya
adegan-adegan yang aku lihat tadi terus saja membayang di kepala. Kesal sekali.
Kuputuskan untuk membaca buku saja, mungkin dengan membaca
buku bisa membuatku mengantuk. Semoga saja mempan. Aku pun menyalakan lampu di
mejaku dan meraih satu buku yang kuletakkan tidak jauh dari posisi lampu.
Ting!
Gerakan tanganku terhenti saat aku melihat ada pesan masuk pada
gawaiku lewat aplikasi Fine. Melihat nama
yang muncul di sana, aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku. Daripada buku,
tanganku beralih meraih gawai berwarna rose
gold kesukaanku itu.
Mau apa orang ini?.
Batinku.
[Susah tidur ya?]
Eh?
[Kok tahu?]
Ting!
[Aku melihat lampu kamarmu menyala]
Apa?
Dengan gerakan gesit aku segera turun dari ranjang dan
mengambil langkah lebar menuju jendela kamar yang menghadap langsung ke jalan
komplek perumahan. Aku membuka gorden motif bunga sakura itu dengan rasa
penasaran.
Senyumku terkembang lebih lebar saat aku melihat seorang
lelaki melambaikan tangannya padaku.
[Kamu lagi apa?]
Kirim.
Ting!
[Jagain kamu]
Aku melihatnya dengan senyum yang semakin tidak mau hilang
di bibirku. Pun dengan dia yang sedari tadi memasang senyuman manis di
wajahnya. Aku memberi isyarat tangan dengan hanya jari kelingking dan ibu jari
yang mencuat. Dia langsung memberi tanda X dengan kedua lengannya. Aku memasang
ekspresi wajah “ke-na-pa?”.
Ting!
[Nanti susah tutup teleponnya]
Membacanya membuat dadaku panas. Sukses lagi kan kena
gombal, dasar lemah kamu Kania.
Ting!
[Aku jagain dari
sini. Kamu pasti susah tidur karena film horor yang kamu tonton bareng sama teman-temanmu
tadi. Sekarang aku di sini, gak akan
ada setan yang berani deketin kamu.
Tidur gih!]
Duh, Kania, kan… lemah kan.
Bagaimana bisa kamu menahan diri selama ini dengan hanya
menatap lelaki itu diam-diam saja. Kalau saja bukan karena lelaki itu juga
mempunyai perasaan yang sama denganmu dan menyadari perasaan kamu duluan,
mungkin sampai saat ini kamu hanya akan terus menatapnya diam-diam sambil
menyimpan rasa itu diam-diam pula.
---
Namanya, Bintang Gemilang. Perkenalan pertama kami adalah
saat masa ospek mahasiswa, kami satu angkatan, satu fakultas, tetapi
berbeda jurusan. Saat masa ospek gabungan, kelompokku dan kelompoknya
bersebelahan, dia di kelompok sembilan dan aku di kelompok sepuluh.
Sejak awal perkenalan dan bimbingan oleh kakak tingkat, kami
diberi tugas untuk mengenal satu sama lain, sesama mahasiwa baru maupun dengan
senior. Ya, sekedar memenuhi buku perkenalan sebagai mahasiswa baru.
Mengumpulkan beberapa nama teman seangkatan dan kontak mereka dalam satu buku
yang diberi sampul kertas berwarna merah dan putih.
“Isi dong,” lelaki
itu tersenyum simpul sambil menyodorkan buku dan pena berwarna merah kepadaku.
“Eh? Kok merah? Aku ada yang hitam, mau ganti?”
Aku sibuk menggeledah isi ransel hitamku, mendadak saja pena
itu sulit ditemukan.
“Tidak usah, pakai yang merah saja,” ujarnya enteng.
“Oh, ya sudah.”
Aku mengambil buku yang disodorkannya dan membuka halaman
pertama, eh masih kosong?, batinku.
Aku menatapnya sekilas tapi urung bertanya.
Ya sudahlah, mungkin dia belum sempat meminta ke teman-teman
yang lain. Aku pun langsung mengisi halaman pertama baris nomor satu dari buku
itu.
“Namaku Bintang Gemilang, Kania Atyaananda,” dia membaca
namaku yang tertulis dalam buku itu.
“Apa artinya?” tanyanya kemudian.
“Wanita yang bahagia,” jawabku dengan nada keheranan.
“Amin.”
Lelaki bernama Bintang itu menutup buku perkenalan dan
memasukannya ke dalam tas ransel lusuh miliknya. Belum sempat aku menawarkan
buku perkenalanku padanya, waktu istirahat pun selesai.
Dua minggu berlalu sejak ospek berakhir. Aku
sedang menikmati makan siang di kantin dekat fakultas saat sekelebat sosok
lelaki melintas tepat di samping mejaku.
"Abin!"
Aku langsung mendongak saat mendengar nama itu disebut, aku
tahu siapa yang mereka panggil. Bintang Gemilang, dia menghampiri teman-teman
yang ramai menyambutnya, kemudian menarik satu kursi dari meja yang tepat berada
di depan mejaku.
Kantin siang ini memang cukup ramai, tetapi sosoknya tetap
terlihat paling gemilang di mataku. Aku tersenyum simpul.
Hujan siang ini membuat bumi tampak suram seakan sudah
memasuki waktu sore, untung saja aku mengenakan jaket yang cukup tebal untuk
menghangatkan badanku dari udara dingin yang menyeruak. Aku mengintip sosok
lelaki yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk dengan ekor mataku, kami
berdua sama-sama sedang berteduh dari hujan di depan sebuah toko yang sedang
tutup.
Hanya berdua, entah kenapa seperti sesuatu yang disengajakan
oleh semesta. Aku menahan diri agar tidak terlalu memperlihatkan rasa hangat
yang menyelinap ke hatiku saat terjebak hujan bersamanya di sini.
Kalau kau ingin
berlama membasahi bumi, silakan. Batinku menyapa hujan.
“Si wanita yang bahagia.”
Entah perintah dari mana tetapi kepalaku langsung berbalik
menatap si sumber suara. Tiba-tiba ada degup tak di undang meronta di dalam dada.
Dia sedang menatapku, Bintang Gemilang, lelaki itu, dia yang saat ini tengah
duduk terpaut -tidak sampai- satu meter denganku.
“Hai,” sapanya dengan senyum di bibirnya.
“Hai,” ku tahan suaraku agar terdengar biasa.
“Boleh aku memberimu saran?”
“Apa?”
“Jangan diam-diam menatapku lagi, kalau aku jatuh cinta,
bagaimana?”
Aku mematung, tidak tahu harus menjawab apa. Ya Tuhan,
apa-apaan barusan itu. Tunggu, jadi dia menyadari kalau aku -memang sering- diam-diam
menatap padanya? Duh, malu sekali.
“Kalau kamu sanggup menanggungnya, mulai hari ini aku akan
jatuh cinta padamu,” lanjutnya semakin membuatku membisu.
Bagaimana bisa dia memasang wajah tenang setelah mengatakan
hal tidak masuk akal seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti. Tapi momen
seperti ini, bukankah hal yang selama ini aku nantikan?
Esok harinya dia menawarkan untuk pulang bersama, walaupun
aku tahu arah rumahku dan rumahnya berlawanan.
“Tidak apa-apa, aku akan mengantarkanmu pulang, kebetulan
bensin dalam motorku masih ada. Tapi kalau nanti habis, kita patungan ya
beli bensinnya?”
Dia bahkan mengantarkanku pulang saat dia sendiri tidak ada
jadwal ke kampus hari itu. “Santai aja, daripada di rumah keingetan kamu terus malah jadi penyakit, mending langsung temuin orangnya. Mencegah lebih baik
daripada mengobati,” aku tergelak karena tingkah uniknya –jika tidak ingin
dibilang aneh- itu.
Selama perjalanan, banyak hal yang kami bicarakan.
Kebanyakan sih ocehan-ocehan tidak masuk akal yang terlontar dari mulutnya,
tapi entah kenapa aku sangat menikmatinya, aku tidak pernah bosan
mendengarkannya.
Salah satu ocehannya adalah tentang hari di mana dia
memintaku untuk menulis di buku perkenalan saat kami masih sama-sama anak baru
berbaju hitam putih. Dia bilang satu-satunya mahasiwa yang menulis dengan tinta
berwarna merah adalah aku, teman-teman yang lain mengisinya dengan tinta berwarna
hitam. Katanya lagi, itu disengaja, karena sejak awal baginya aku ini sudah
istimewa, hanya saja belum sampai membuat dia jatuh cinta.
Coba, bagaimana wajahku tidak merona?
---
Ting!
Satu pesan baru membuyarkan lamunanku, aku mendelik pada si
pengirim pesan.
[Hei sedang apa? Jangan melamun lama-lama, nanti kalau aku
nekat naik ke atas sana, bagaimana?]
Seandainya aku berada dalam film India, sudah pasti aku akan
menari-nari bahagia di antara padang bunga yang berwarna.
[Aku tidur deh]
Kirim.
Ting!
[Nina boboin, jangan?]
Aku tertawa membacanya. MAU! Itu hatiku yang menjerit ya.
[Aku tidur ya]
Kirim.
Kami saling menatap, dia tersenyum dan melambaikan tangannya
sambil mengangguk. Ah, aku ingin berlari memeluknya, seandainya saja bisa.
Kania! Sudah malam begini, apa sih yang kamu pikirkan?! Aku
mencubit diriku yang di alam sana.
Bintang mengisyaratkan untuk segera menutup gorden kamarku,
aku mengiyakan dengan anggukan kecil dan perlahan -dengan perasaan tidak rela- menutup gorden itu.
Huft.
Aku melemparkan badanku ke atas ranjang, menarik selimut
yang tadi sempat ku tendang, tak lupa lampu pun kumatikan.
Ting!
[Ronda keliling]
Ting!
Bintang mengirim foto jendela kamarku yang gelap dan lagi-lagi
sukses membuatku tertawa.
Ting!
[Minta foto keningmu]
Eh?
[Buat apa?]
Kirim.
Ting!
[Mau ku cium, sebagai ucapan selamat malam dan selamat
tidur]
Nyes…
Bintang! Aku lari ke bawah nih lama-lama! Aaaah!
---
#30HariMenulis Challenge Day 29
Jumlah kata: 1.277
Komentar
Posting Komentar