Sempurna

Biru sudah berdiri selama hampir satu jam dalam ruangan itu. Tubuhnya mulai limbung, tetapi otaknya memberi perintah tegas agar kakinya tetap berdiri tegap menopang tubuhnya yang kewalahan. 

Berdiri dengan benar. Batin Biru.

Dia mengedipkan paksa matanya, menyadarkan dirinya sendiri untuk tetap fokus.

Di seberang tempat Biru berdiri, seorang wanita dewasa duduk dengan anggun di balik meja kerja, memeriksa tumpukan dokumen dengan tenang tanpa terganggu kehadiran Biru.

“Bertahanlah sebentar lagi.” ujar wanita itu tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran kertas yang cukup tebal di atas meja.

“Baik, Ibu.” 

Berdiri dengan benar. Batin Biru, lagi.

“Ah!”

Tiba-tiba saja Biru mengeluarkan suara, tidak lama tubuhnya ambruk ke lantai. Wanita yang dipanggilnya ibu itu langsung menghentikan pekerjaannya. Dihembuskan panjang nafasnya, dia pun menatap Biru yang kini sedang berusaha bangkit dengan susah payah dihadapannya.

“Ku bilang, bertahan. Kenapa juga kau harus jatuh?

Dingin suara wanita itu mampu membekukan seisi ruangan.

“Maaf, Ibu.”

Bocah lelaki itu sekuat tenaga mengangkat tubuhnya lagi, keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya hingga kemeja yang dipakainya pun basah.

“Ugh…” sebisa mungkin dia menahan agar suaranya tidak keluar, oh pandangannya mulai kabur.

Dengan kesal wanita itu menutup lembaran dokumen yang tengah dikerjakannya.

“Mengesalkan sekali!” ketus wanita itu seraya mendelik pada anak lelakinya yang kini sudah berdiri kembali namun kepayahan.

“Kau merusak semua hal sempurna di ruangan ini. Di ruangan ini semua tertata dengan rapi dan baik, semua sesuai dengan tempatnya. Semua berkelas dan berharga. Tidak ada yang mengecewakan. Tapi kau? Dasar bocah payah, ku minta berdiri dengan benar saja tidak bisa.”

Wanita itu bangkit dari kursinya, tubuhnya yang ramping semampai dibalut kemeja berwana merah marun, rok selutut dan sepatu berhak tinggi berwarna senada dengan kemejanya, membuatnya terlihat sangat cantik dengan cahaya remang dalam ruangan.

Rambutnya diikat ke atas serupa kuncir kuda yang menawan, kulit putihnya terlihat menonjol dengan lipstik merah di bibirnya. Matanya indah namun tegas. Hidungnya cukup tinggi dan ramping. Sekali melihatnya, orang bisa tahu bagaimana wanita itu sangat memperhatikan penampilannya.

Wanita itu berdiri setengah duduk di atas mejanya, menghadap pada bocah lelaki yang berdiri di depannya dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Kau itu benar anakku?” wanita itu menyunggingkan senyum sinis.

“Bagaimana bisa kau melewatkan satu soal begitu saja? Kau benar-benar sedang mengujiku ya? Ingin mempermalukan keluarga kita? Melihat nilai ujianmu dengan satu poin kekurangan itu benar-benar membuat kepalaku sakit. Bagaimana bisa kau tidak sekompeten itu? Benar-benar tidak termaafkan!”

“Maaf, Ibu.” Biru tidak berani menatap mata ibunya.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki memasuki rumah, langkahnya terdengar cepat dan semakin lama semakin jelas mendekat.

“Ah, ayahmu sudah pulang rupanya.”

Tidak lama, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria dengan kaki yang panjang, tubuh yang tegap dan rahang yang tegas memasuki ruangan dengan tenang. Jas hitam yang membalut kemeja berwarna senada dengan kemeja sang istri serta dasi berwarna hitam yang elegan menjadikan penampilannya sangat menonjol, penuh karisma dan tentu saja sangat ampuh untuk menjadi obat mata para wanita.

“Ada apa ini?” tanya pria itu sambil menutup pintu ruangan dengan tenang kemudian berjalan menuju istrinya dan mencium pipi sang istri lembut.

“Sedikit hukuman.” jawab istrinya dengan nada biasa saja.

“Hukuman untuk apa?”

“Dia menjawab satu soal ujian dengan salah. Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak sempurna, kau sangat tahu itu sayang”

“Apa? Bukankah Biru selalu mendapat nilai sempurna?”

Ayahnya menatap keheranan pada Biru, dia membuka jasnya dan melonggarkan dasinya, membiarkan dua kancing atas terbuka, sosoknya semakin terlihat mempesona.

“Ehm.” Sang istri pura-pura membersihkan tenggorokannya setelah diam-diam memperhatikan tingkah sang suami. Suaminya berlagak acuh, dia menyerahkan jas itu pada istrinya dan mendekati Biru yang memucat.

“Astaga. Rei, apa ini tidak terlalu dalam?” wanita yang dipanggil Rei itu membuang muka, menolak untuk disalahkan.

“Toh Mas Bayu bisa menyembuhkannya lagi.” Rei mencari pembelaan.

Bayu mengusap kening Biru, bocah itu demam dan badannya sudah menggigil. Bayu mendudukkan Biru dipangkuannya sambil memeriksa lebih teliti kondisi tubuh Biru.

“Ayah…” Biru menghabiskan seluruh tenaganya dan kini terkulai dipangkuan sang ayah, matanya masih mengerjap, dia tidak boleh tertidur, dia sangat tahu hal itu. Jika tertidur sekarang, ibunya akan memberikan hukuman lagi, dia harus kuat sampai diberi izin untuk bisa tidur.

“Apa yang kau gunakan?” tanya Bayu pada Rei.

“Em… pisau daging yang biasa. Aku sudah membubuhi alkohol sebelumnya, aku yakin lukanya tidak akan terinfeksi, dan lagi ini belum sampai satu jam dari sayatan pertama.”

Sayatan. Iya, bocah lelaki berusia tujuh tahun bernama Biru itu mendapat luka sayatan di bagian perut bawahnya, luka yang cukup dalam dan sedari tadi mengeluarkan darah yang lama kelamaan merembes pada handuk yang diberikan oleh ibunya untuk menekan luka menganga di sana.

Itu adalah bentuk hukuman dari ibunya. Ibunya adalah orang yang tidak bisa memaafkan apapun yang tidak sempurna dimatanya. Dan ini, bukan luka sayatan pertama yang diterima Biru.

“Hm, aku bisa menangani ini, untung saja tidak mengenai bagian vital. Lain kali jangan menyayat terlalu dalam. Hari ini aku mendapat dua jadwal operasi besar, itu saja sudah menguras setengah dari tenagaku. Kau beruntung karena suamimu adalah ahli bedah paling kompeten di negeri ini.”

Rei memutar bola matanya dengan dagu yang sedikit dinaikkan, “tukang pamer,” sahut Rei, membuat Bayu terkekeh.

“Kalau aku tidak sempurna, keluargamu tidak akan menikahkanmu denganku.” sindir Bayu, membuat Rei mengembangkan senyum yang cukup menggoda. 

Iya, seandainya saja aku tidak sempurna di mata mereka. 

“Sekarang, bolehkah anak kita tidur sebentar?” Bayu menatap Rei, tangannya sudah bersiap mengangkat tubuh sang anak yang semakin melemah. Anak yang malang, pikir Bayu, bertahanlah sebentar lagi.

Rei mengangguk memberi izin. Bayu segera mengangkat Biru dalam pangkuannya dan membawa Biru menuju ruang operasi pribadinya dalam rumah itu.

Sesampainya di ruang operasi, Bayu dengan cepat membaringkan tubuh Biru di atas meja operasi, tergesa dia menyiapkan alat yang dibutuhkan. Bayu mengusap peluh yang membanjiri wajah anak lelakinya itu, Biru tampak gelisah. Bayu mendekatkan bibirnya di telinga Biru, “maaf, ayah datang terlambat,” bisiknya.

“Sekarang, kau boleh tidur nak.” Ditatapnya wajah sang anak yang pucat, suaranya masih setenang tadi. Tak lama Biru pun terpejam, dia tahu ayahnya akan membuat lukanya tidak berbekas, semoga.


Seorang gadis kecil mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Matanya merah dan hidungnya berair, gadis kecil itu habis menangis. 

“Ayah…” panggil gadis itu.

“Jingga?” Bayu melongokkan wajahnya ke pintu, dia melihat putri kecilnya dengan wajah bengkak karena lama menangis, Bayu terseyum lembut dan menyuruh Jingga masuk.

“Kak Biru baik-baik saja kan Yah?”

“Tentu saja.”

Bayu mengusap rambut Jingga dan menaikkan gadis kecil yang sangat mirip dengan Biru itu ke atas kursi dekat dengan Biru yang masih terbaring tak sadarkan diri setelah menjalani operasi.

“Ini semua karena Jingga, Kak Biru menukar hasil ujiannya dengan punya Jingga. Seharusnya Jingga yang dihukum.” Jingga terisak lagi.

“Hm. Ayah mengerti sekarang. Sudah, jangan menangis lagi. Jingga tahu kenapa Kak Biru melakukan itu?” tanya Bayu, Jingga menggeleng.

“Karena Jingga perempuan. Bagi perempuan, bekas luka ditubuhnya hanya akan menjadi aib yang akan terbawa sampai kapanpun. Kalian ini kembar, Kak Biru tidak ingin Jingga terluka setelah dewasa nanti.”

Jingga menatap ayahnya dan mengangguk, otak polosnya dipaksa untuk mengerti hal-hal berat seperti itu dan dia harus pura-pura memahami. Jingga sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan ayahnya, yang dia pahami jika Biru melakukan semua itu demi untuk melindunginya dari hukuman sang ibu.

“Ayah janji, kita bertiga akan keluar dari tempat ini secepatnya.” Bayu mencium kening Jingga. 

Ini sudah keterlaluan, aku tidak bisa membiarkan anak-anak bersama ibunya lagi, aku harus melakukan sesuatu. Aku sudah muak pura-pura memahami wanita gila itu. Rei sudah tidak waras. Batin Bayu.


Dibalik pintu yang tidak tertutup rapat, Rei menggigiti kukunya yang terbalut kuteks berwarna merah muda. Dia gelisah.

Apa? Jadi kau akan meninggalkan aku? Tidak, tidak boleh, tidak ada yang boleh meninggalkan rumah ini, tidak satupun, tidak kalian ataupun aku! 

Rei melangkah pergi untuk mengambil bensin yang sudah dia siapkan sejak lama, entah untuk apa. Tapi sepertinya hari ini adalah hari di mana Rei akan menggunakannya. 

Tidak boleh. Kalau kalian pergi, orang-orang akan menertawakanku. Mengolok-olok aku. Tidak, itu semua tidak sempurna. Kita tidak boleh berdosa seperti itu. Aku, aku harus hidup dengan sempurna sehingga tidak ada celah untuk mereka menghina. Iya, harus begitu, harus begitu! 

Rei menyeret jerigen bensin itu, menumpahkannya di beberapa titik, termasuk menumpahkan bensin itu di sekujur tubuhnya.


Bayu mencium bau yang familiar, perasaannya tiba-tiba tidak enak. 

Bau ini… Apa penciumanku salah? Tidak, harus kupastikan. 

Tergesa Bayu membuka pintu, kakinya menjejak pada cairan yang tercecer di lantai dan bau yang sangat dikenalnya semakin menyeruak.

“Ini…”

Mata Bayu langsung terbelalak melihat sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. Wanita itu menyeringai dan sosoknya terlihat mengerikan.

Rei menyalakan pematik yang sedari tadi digenggamnya. Bayu langsung menyadari apa yang terjadi.

“TIDAK! REINA!” 

Ayo kita mati bersama.

-----
#30HariMenulis Challenge Day 26
Jumlah kata: 1.411

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy