Empat Lelaki Tampan
“Hahahaha si Anj*ng!” Suara tawa bercampur umpatan itu keluar dari seorang pria dengan perawakan sedang berkulit sawo matang.
“Beneran, hantunya cantik kata si Bono.” Sahut pria berkacamata dengan perawakan agak pendek.
“Dia kemarin ke sana sama ceweknya gitu lah." Kali ini pria dengan jambang tipis manis di dagunya.
“Biasa, cari-cari kesempatan lah biar bisa meluk yang empuk-empuk” timpal teman mereka, kali ini yang paling bongsor di antara keempatnya.
Mereka berempat pun tertawa terbahak-bahak.
---
14.47 WIB. Indekos.
“Malam ini gimana? Ben, lu bisa kan?”
“Bisalah,
gue mah aman.”
“Kalau lu, Cup?”
“Lanjut.”
“Eh si Mario mana?”
“Lagi nongkrong tuh.”
“Mariooooo, lu ikutan kaga malam ini?”
“…”
“Mario woiiii masih idup lu?”
“EH SI ANJ*NG GUA LAGI NGEDEN MALAH DI TANYA, ANJ*NG!” sahut Mario yang lagi nongkrong di toilet, kesal. Kontan saja teman-temannya tergelak.
“Kek cewek aja sih lu Ben.”
“Berisik Cup, perawatan kulit gue mahal tahu. Lu juga dari tadi gawean ngunyah mulu, meledak perut lu entar.”
“Ah bawel lu pada, tiga menit lagi tengah malem nih.”
“Kalau lu, Cup?”
“Lanjut.”
“Eh si Mario mana?”
“Lagi nongkrong tuh.”
“Mariooooo, lu ikutan kaga malam ini?”
“…”
“Mario woiiii masih idup lu?”
“EH SI ANJ*NG GUA LAGI NGEDEN MALAH DI TANYA, ANJ*NG!” sahut Mario yang lagi nongkrong di toilet, kesal. Kontan saja teman-temannya tergelak.
---
23.57 WIB. Lokasi tujuan.
“Jan, lo bawa lotion nyamuk gak?” Beni menggaruk
lengannya, gatal.
“Gak, gue bawanya senter.”
“Gak, gue bawanya senter.”
“Kek cewek aja sih lu Ben.”
“Berisik Cup, perawatan kulit gue mahal tahu. Lu juga dari tadi gawean ngunyah mulu, meledak perut lu entar.”
“Ah bawel lu pada, tiga menit lagi tengah malem nih.”
Empat sekawan itu pun mulai
masuk ke dalam Rumah Susun lima lantai yang sudah terbengkalai selama lebih
dari enam tahun.
---
DENG! DENG! DENG!
---
DENG! DENG! DENG!
“SETAN! KAGET AING, ANJ*NG, JAM KAMPRET!”
“Hmmmmbbb…” beberapa orang menahan suara tawa,
si Mario ini sudah kata-katanya kasar, anaknya sering asal kalau latahnya
keluar.
“Sssttt,
Yo lu tahan diri sih. Entar setannya nyamperin lu.”
“Ah bodo anj*ng gua kaget ah, sini aja setannya keluar sekalian biar gua jadiin babu di rumah.”
“Hush. Jaga mulut lo Yo, pamali.”
Mereka berjalan beriringan menaiki lantai dua.
“Ah bodo anj*ng gua kaget ah, sini aja setannya keluar sekalian biar gua jadiin babu di rumah.”
“Hush. Jaga mulut lo Yo, pamali.”
Mereka berjalan beriringan menaiki lantai dua.
“Gue
denger, di lantai dua ini paling angker, di kamar nomor 213 itu ada hantu cewek
korban pemerkosaan yang konon dulu sebelum mayatnya ketemu, dia sempet datengin
ibunya, ngasih tahu kalau dia udah mati. Besoknya si ibu datang ke sini dan
bener aja, si cewek ada di lantai kamar dengan kondisi mengenaskan.”
“Pakek
baju kagak Jan?”
“Mesum
lo!”
“Ye,
gua mah nanya, dasar anj-“ Yusuf langsung membekap mulut Mario. Mario meronta
minta dilepas.
“Asem!
Ngapain lu ngebek--“ Mario urung meneruskan omelannya setelah dilihatnya muka
Yusuf yang pucat.
Mario mengikuti arah pandang mata Yusuf dan
menemukan dua temannya yang lain melakukan hal yang sama.
Tanpa sadar mereka sudah berada di depan pintu
kamar nomor 213, keempatnya menelan ludah.
“Engga beres ini.” Suara Jani tercekat.
“Gue bilang apa kan, gak seharusnya kita naik lantai dua” Yusuf menimpali.
“Engga beres ini.” Suara Jani tercekat.
“Gue bilang apa kan, gak seharusnya kita naik lantai dua” Yusuf menimpali.
“Pergi yuk...” Ajak Beni nyaris tidak terdengar,
kakinya perlahan melangkah mundur.
“…” Mario hanya bernafas.
Keempatnya saling menatap, saling melempar
isyarat dengan kedipan mata dan anggukan, dan mereka langsung memahami. Keuntungan karena berteman lebih dari empat tahun, atau karena sama-sama berada
pada situasi yang dramatis ini?
“LARIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!” Kompak sekali.
---
00.47 WIB.
Tidak ada suara lain selain nafas yang berusaha
diatur dan batuk-batuk kecil sebagai musik latar.
“Anj*ng apaan itu tadi?”
“Gue gak ngerti… uhuk…” Beni terbatuk,
keringatnya paling banyak, nafasnya paling memburu.
“Lu tadi hampir bikin aing jatuh ndut!” Mario memaki Yusuf.
“…”
“Kalian lihat tadi? Gue engga salah lihat kan?
Lantai dua itu…”
“Sudah-sudah, kita balik sekarang yuk! Gak usah
bahas lagi yang tadi. Cukup tahu.”
Teman-temannya mengangguk mengiyakan ajakan Beni dan segera mengambil langkah panjang menuju lokasi tempat mobil Mario di parkir.
Dari kejauhan terlihat seorang pria tua
menyaksikan kepergian keempat sekawan itu dengan tatapan nanar dan helaan nafas
berat.
“Apa yang sebenarnya sudah kalian lakukan di
dalam tadi?” desah Pak Tua.
---
Di Mobil.
Jani menatap kaca spion sembari membenarkan posisi kacamatanya, dia melihat wajah pucat
salah satu temannya terpantul di sana.
“Cup, lu masih kaget? Kalem, kita aman.”
“Si Ucup, saking kagetnya dari tadi kita sampai
di luar gedung, kaga ngomong-ngomong dia.”
“HA HA HA HA”
teman-temannya kompak menertawakan.
Mobil pun melaju dengan kencang, meninggalkan
jalanan desa menuju jalanan kota dengan cahaya remang.
Dunia cermin.
Ketiga temannya berbalik
dan berjalan pergi, Yusuf mengikuti mereka dari belakang. “Tunggu, gue ikut.”
---
“Geng, kalian di mana?” seseorang terdengar
putus asa.
Di sekelilingnya hanya gelap semata. Dia terpisah
dari ketiga temannya yang entah sejak kapan dia pun tidak tahu, yang ia ingat
hanya berlari saja tadi.
“Jani?”
“Beni?”
“Mario?”
Tidak ada jawaban. Pria bertubuh bongsor itu
meringkukkan badannya di sudut ruang gelap. Ketakutan menelan raganya jauh dari
kesadaran.
Tap.
Tap. Tap.
Terdengar
suara langkah kaki mendekat, Yusuf dengan sigap bangun, besar harapan bahwa itu
adalah teman-temannya. Dan benar saja tiga orang berperawakan persis dengan
ketiga temannya muncul di hadapan Yusuf.
“Teman-teman,
terima kasih kalian sudah kembali.”
#30HariMenulis
Challenge Day 10
Jumlah kata: 733
Komentar
Posting Komentar