Usai Disini

Tatangan: Membuat cerita dari lagu Raisa - Usai Disini

Pedihnya Tanya yang tak terjawab
Mampu menjatuhkanku yang dikira tegar

“Hei Yar, Nunggu lama ya?” Sandra menarik kursi di depanku, duduk.
Aku hanya menggeleng dan tersenyum, mengaduk milk shake cokelat yang sudah ku pesan terlebih dahulu.
“Mas.” Sandra mengangkat tangannya hendak memesan. Seorang waiter dengan perawakan jangkung dan berwajah sangat manis menghampiri kami, mengambil sebuah note dari sakunya dan bersiap menuliskan pesanan Sandra.
“Frape moccacinonya satu ya, em… sausage and friesnya deh boleh sekalian” dengan cekatan Waiter itu menuliskan menu yang di sebutkan Sandra.
“Kamu gak pesan makan Yar?”
“Engga deh masih kenyang”
“Ya, sudah. Itu aja mas, makasih ya”
“Saya ulangi pesananannya ya Kak, Frape moccaccino satu, sausage and friesnya satu”
“Yaas.” Sandra mengatakannya dengan nada menggoda sembari mengeluarkan senyuman mautnya, dasar genit.
“Baik, ditunggu sebentar ya Kak” Si Waiter terlihat bersemu merah seraya meninggalkan meja kami.
“Dasar iseng” ujarku melihat tingkahnya.
“Apa?” Sandra sok polos. “Okay, ready buat curhatannya?” todong Sandra kemudian.
Mendengar itu, aku menghembuskan nafas berat, mengaduk kembali milk shake yang esnya sudah mulai mencair semua.
“Aldi?” tebak Sandra, aku terdiam. Sandra meraih tanganku, dia tahu aku sedang bimbang.
“Dia masih belum berubah” Aku membuang muka, melihat keluar dimana jalanan terlihat agak lebih lengang dari biasanya. Sandra mengusap pelan telapak tangan bagian atasku, menenangkan.
“Yar, kamu masih sanggup nunggu dia, hm?”
Aku hanya bisa diam dengan pertanyaan Sandra. Ya, berkali-kali pertanyaan itu dia ajukan padaku dan selalu ku jawab dengan yakin bahwa aku masih sanggup menunggu Aldi untuk melamarku, seperti janjinya. Dua tahun yang lalu.
Tapi semakin sering pertanyaan itu aku dengar, keyakinanku malah semakin berkurang, rasanya gamang. Mungkin karena usiaku sudah sangat matang untuk menikah. Mungkin aku sudah mulai jengah dengan pertanyaan dari keluargaku tentang kapan aku akan menikah.
Namun, disisi lain aku tahu, Aldi tidak hanya punya aku.

Kau tepikan aku kau renggut mimpi
Yang dulu kita ukir bersama
Seolah-olah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
Seolah janji dan kata-kata yang telah terucap kehilangan arti

Ayolah Yara, sadarlah. Bukan saatnya lagi kamu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ini saatnya kamu menentukan sikap, buka mata kamu Yara! Ini kedua kalinya Aldi mempunyai perempuan lain semenjak dia berhubungan denganmu.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Kusut dan tidak percaya diri. Aku kelelahan. Ternyata cinta mampu membuat seseorang seperti zombie, entah hidup entah mati.
Beberapa kali aku menemukan Chat Aldi dengan perempuan lain, dia bilang hanya teman. Teman kencan atau teman “sekedar kencan saja”? Dan padamu, aku tak banyak bicara, hanya tersenyum, lantas diam, kemudian mengangguk paham.
Kau berbohong. Lagi.
Yang selalu ku yakini dari ucapannya adalah jika aku akan selalu menjadi persinggahan terakhirnya. Kemanapun dia pergi, pada akhirnya dia akan kembali padaku. Terdengar sangat manis sekali, akan tetapi, menjalaninya tidaklah semudah yang terucap. Aku ingin percaya, sungguh, karena aku tahu bagaimana Aldi. Hanya saja, ternyata hatiku tidak sekuat itu untuk bisa selalu memaklumi kebiasaan buruknya, petualangan cintanya, yang entah kapan akan sampai pada halaman terakhir, dan bertuliskan tamat tanpa sekuel, lantas memulai menulis cerita barunya denganku dalam buku yang berbeda.
Aku tidak bisa mengubahmu Al, tidak akan pernah bisa. Kau dengan keyakinanmu bahwa petualangan cintamu hanya sementara sedangkan aku semakin merasa bahwa waktu menungguku akan menjadi selamanya. Kau tidak akan pernah berubah dengan mudah, karena kau belum sepenuhnya siap dengan tanggung jawab. Al.

Lebih baik kita usai disini
Sebelum cerita indah
Tergantikan pahitnya sakit hati

“Kau harus tahu kapan saatnya bertahan dan kapan saatnya berhenti” Sandra menatapku lekat, sahabat terbaik yang aku punya. Bersama Sandra aku selalu merasa lemah, ingin rasanya menangis hingga sesenggukan.
“Yar, seperti ini terus pun tidak akan pernah menjadi baik. Sesekali kasihanilah hatimu. Kau sudah cukup kuat selama ini. Kau memahaminya. Tapi dia tidak berusaha untuk memahami posisimu.”
Aku tahu, ucapan Sandra benar. Ini bukan menyerah, hanya saja, sepertinya sekarang adalah waktu yang tepat untuk berhenti dan melepaskan.
Don’t ruin your sweet memory by collecting a ton of hurts” Aku mendengarkan.

Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu tapi tak selamanya

Lelaki itu tengah duduk disampingku, mengemudikan mobil sembari mendengarkan music rock kesukaannya. Bibirnya tak henti ikut bernyanyi.
“Hun, gimana tadi presentasinya? Sukses?”
“Em” aku menjawab singkat. Mataku tertuju keluar, melihat deretan gedung yang tampak seperti berlarian.
“Capek ya, hm?” Aldi mengusap rambutku, seperti kebiasaan romantisnya selama ini padaku, juga pada beberapa perempuannya yang lain.
“Eh hun, sabtu ini aku mau ketemu anak-anak nih, malmingannya agak telat ya?”
Kami berhenti tepat didepan saat lampu merah menyala.
“Al...” ucapanku menggantung.
“Hm?” dia memalingkan wajahnya padaku, menatapku dengan matanya yang tajam namun terlihat polos diwaktu yang bersamaan. Hatiku sesak.
“Lepaskan aku” pelan sekali, tapi cukup untuk terdengar oleh kami yang hanya berdua di dalam mobil. Raut wajah Aldi berubah, dia mengerti. Sudah seharusnya. Aldi mengambil tangan kananku, aku menepisnya pelan, menggelengkan kepalaku, ku usahakan agar air mataku tidak berkhianat.
“Hei. Aku baik-baik saja. Hanya saja…” aku mengambil jeda “hanya saja…it feels like I have to waiting you for…” lagi, ku ambil jeda “forever”.
“I love you” ucapnya tulus.
“Aku bisa menunggu kamu Al. Selalu bisa.” Aku mencoba menatap matanya yang juga mulai berkaca.
“tapi tak selamanya” sambungku, aku menunduk, pilu.
Takkan ku jera percaya cinta
Manis dan pahitnya kan ku terima
Kini kisah kita akhiri dengan makna
***
Epilog
“How’s life dear?” Suara Sandra terdengar sangat antusias disebrang sana.
“So so” jawabku singkat.
“Eiii… Jangan sampai lupa pulang lhooo nonaaa.”
“Let’s see” terdengar gelak tawa Sandra, ah, sahabatku yang satu itu bikin kangen Indonesia saja, khususnya Bandung.
“Saporo lagi salju yaaa?”
“Selaluuu” sahutku menirukan nadanya yang nyaring dan centil.
“Lama donk nunggu matahari muncul?”
“Mmmm enggak juga sih”
“Haaaaa?” Lagi, Sandra menggunakan aksen sok begonya.

Yara-san, koko ni kite kudasai?
Terdengar suara bos ditempat kerja baruku memanggil.
“Ah. Hai, wakarimashita.” Sahutku.
I have to go dear, my kakkoi boss need my help” aku berbisik di telepon.
“Naniiiiiiiii?” Sandra berteriak di telepon, seperti tidak rela.
I love you, bye” bisikku lagi sembari menahan tawa dan segera menutup saluran telepon. Aku tahu, Sandra sangat memimpikan untuk dapat berhubungan dengan orang Jepang yang tampan seperti Tomohisha Yamashita, Haruma Miura, Yamazaki Kento, Kenichi Matsuyama atau setidaknya seperti Taka, Vokalis Band Rock Jepang bernama One Ok Rock. Aku tergelak, ah, Sandra, aku kangen sekali.
Beep!
Satu pesan masuk di Line. Aku tersenyum melihat nama yang muncul disana. Nanti sajalah, ku balas, jika aku ingin. Pun melenggang menuju ruangan Yamada-San, Bosku yang sebenarnya sudah berumur kurang dari setengah abad. Gomen, Sandra. Hi hi.

Note:
Yara-san, koko ni kite kudasai? (Yara-San bisa tolong kemari?)
Hai, wakarimashita (baik, saya mengerti)
Nani (apa?)
Kakkoi (Keren, tampan)

#30HariMenulis Hari ke-25

Komentar

  1. Hahaha serasa denger curhatan "seseorang" ya... terasa nyata bgt... wkwkwk 미안 미안... tp yg pasti selalu hargai n percayai hati dan kemampuan qta ya... karena qta yg ngerasain... haha semangat kakaaaaaaa....

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkw makanya asa deja vu, tapi pas nulis asa ga kepikiran sampe situ wkwkwk. ai pas udah baca deui, lah lah iki ko familiar wkwkwk ini tantangannya menjebak xD

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

A Boy Called Billy