Setelah Hari ini.

"Ternyata ia belum mati …"


Aku masih bisa merasakan pelan denyut nadi, di pergelangan tangan sebelah kiri. Kenapa? kenapa tidak mati saja? Kumohon, mati lah. Aku benci melihatmu tersiksa seperti ini, aku benci melihatmu terluka seperti ini. Apa harus ku lakukan lagi, membantumu melepas rasa sakit? mempercepat detik-detik kematianmu? harus kah aku lagi, yang selalu menyelesaikan segala sesuatu untukmu?

Bahkan matimu saja masih menyusahkan ku! Bangsat!

Ruang Kerja Pribadi. Dua jam lalu ...

"Kau harus menyelesaikan ini Serena!" Al melempar dokumen itu ke arahku, aku bergeming. Tidak biasanya dia seperti ini, dia selalu puas dengan hasil yang aku kerjakan.
"Itu hanya kesalahan kecil Al ..." aku beralasan. Mendengar itu, Al menatapku tajam.
"Kecil? Kau bilang kesalahan kecil, Ha?! Kau tahu kesalahan kecil itu bisa bikin polisi tahu bisnis ilegal kita! Sudah ku bilang jangan tinggalkan jejak apapun. A PA PUN!" Al berdiri dari kursi kerjanya, melonggarkan dasi, kesal.
Aku menunduk, tidak berani menatap Al yang penuh amarah. Aku benci dia saat seperti ini.

"Maaf. Akan ku bereskan semuanya, segera. Ini bukan ..."
"Baiklah. Cepat selesaikan" Al memotong ucapanku.
"Iya"

Al berjalan menuju sofa hitam di sudut ruangan. Membuka jas, melepaskan dasi dan membuka beberapa kancing kemejanya. "Apa Baby G meneleponmu hari ini?". Baby G, panggilan sayang Al untuk kekasihnya, mereka baru bertunangan seminggu yang lalu. Aku menggeleng. "Aneh sekali, biasanya pagi hari dia meneleponku. Bikin khawatir saja" Keluh Al.

Aku melirik jam dinding. Pukul satu siang lebih beberapa menit, saatnya Al meminum obat pereda nyeri yang sudah sebulan ini dia konsumsi, setelah kecelakaan mobil yang dia alami. Aku mengambilkan obat itu untuknya dari dalam tas ku, karena memang akulah yang selalu membawakan obatnya kemana-mana, mengingatkannya untuk meminum obat itu merupakan salah satu tugasku. "Time for your drugs" sambil tersenyum aku menghampirinya dengan obat dan air putih ditanganku. Drugs adalah istilah kami untuk menyebut obat yang dia benci itu. "Ah, i almost forget" Al membalas senyumku. Ku sodorkan obat itu padanya, "minumnya" ku lanjutkan. Al menelannya. "Thankyou", ucapnya yang disambut anggukanku.

Al menarik tanganku saat aku hendak beranjak. "Wait" perintahnya. Pelan aku berbalik. "Hm?"
"Kamu terlihat berbeda hari ini?" Ucap Al penuh selidik.
"Terlihat lebih cantik?" candaku, yang diikuti dengan tawanya.
"You are always beautiful. Always, Serena." Al tertawa lagi.

Of course i am. until that girl come to your life. our life. She stole you from me, Al. i'm hurts.

Bugh!! Aku terperanjat dengan suara debuman benda seperti jatuh. Pun berbalik.

"AL!!" aku melihat Al terkapar kesakitan, memegangi dada dan perutnya, dia terlihat sangat menderita. "AL!!" terhuyung aku menghampirinya. "Kamu kenapa AL?" Panik. Al tak mampu bicara, hanya mengejang kehabisan nafas. "AL!!", kemudian dia tak sadarkan diri.

***

Aku membaringkanmu di atas sofa itu, merapihkan bajumu yang berantakan tadi, tubuhmu penuh peluh dimana-mana.
"Apa kau kesakitan?" aku berbisik pelan di telingamu. Kau tak bergerak.
"A … apa sakit sekali?" aku mulai terisak. Pelan ku sentuhkan jari telunjukku di bibirmu yang memucat, menatapmu lekat.

"Hmm…" Aku jatuh terduduk di sampingmu yang terbaring begitu lemah di atas sofa hitam kesayanganmu. Ku genggam tanganmu yang mulai dingin dan mengusapkan telapaknya di pipiku.
"Kalau aku merindukan mu bagaimana?" nadaku begitu sedih.
"Kalau nanti disana kau tidak bisa melakukan segala sesuatu sendirian, bagaimana?" aku menatap wajahmu yang masih terlihat begitu tampan.

Aku mencintaimu.

Why do bird suddenly appears,
everytime you are near.
Just like me,
they long to be close to you.

Aku menyanyikannya untukmu, lagu kesukaan kita, kesukaanku. Pelan ku usap wajahmu, aku tersenyum "tampan sekali lelakiku" dan ku lantunkan lagi lagu itu.

on the day that you were born ...
the angels get together and decided to create a dream come true ...
so they sprinkled moon dust in your hair of gold,
and starlight in your eyes of blue ...

Kali ini aku menangis.

2 Jam setelahnya.

Ku condongkan turun badanku kepadamu, menatap lebih dekat wajahmu, menelusuri setiap lekuknya yang sempurna. Mata ini, mata yang selalu nampak tajam saat menatapku adalah mata paling seksi sepanjang peradaban umat manusia. Kau mampu menatap dingin penuh makna, intents dan disaat bersamaan kau mengeluarkan feromon yang tak mampu di tolak gadis manapun.  Hidung ini. Hidung yang terbentuk sempurna dan terasa pas berada ditempatnya, hidung yang pernah menciumi tiap senti rongga leherku. Dan bibir ini, aku tersenyum kecut, telunjuk dan jari tengah ku bergantian mengusapnya perlahan, bibirmu tipis tapi memabukkan, juga berbisa, kau mampu berkata sangat kasar dengan bibir ini, pun membisikkan kata menggoda di waktu yang berbeda. Aku mabuk, denganmu. Ku kecup pelan bibir itu.

Aku berdiri, menatap sekeliling, "aku harus membereskan kekacauan ini" ujar ku pada diri sendiri. Ruangan kerja sekaligus kamar tidur seluas 8 kali 10 meter itu tampak sangat berantakan, sisa percekcokan kecil kita tadi. Kau membuatku takut dengan amarahmu, aku tidak tahan. Aku berjalan mendekati meja kerjamu, meja kerja kita, kubereskan dokumen kerja kita yang tercecer. Ada cermin disana. Aku berhenti, menatap refleksi ku di dalam sana. Bekas tamparanmu masih ada, perih sekali. "Sialan" umpatku, Tadi kau sempat menamparku di dalam mobil saat perjalanan menuju ke rumahmu, tak punya hati. Lalu ku lemparkan kertas-kertas dokumen yang sudah kubereskan barusan, dingin.

Aku berjalan menghampirimu lagi. Plak!. Membalas tamparanmu saat kau terbaring tak berdaya seperti ini ternyata tidaklah buruk. Aku menyeringai. "Sakit hm?" ku usap pipimu yang habis kutampar barusan. "Dengar, saat kau mencoba menyingkirkan aku, lihat apa yang terjadi? Kau menjadi terbaring tak berdaya!" Aku tertawa. Kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar jika tanpa aku. Kau tahu kan? Lalu, kau ingin menyingkirkan aku? Menggantikan posisiku dengan perempuan sialan yang baru satu bulan kau kenal, keterlaluan. "Satu hal yang perlu kau tahu, kekasihmu itu sudah ku singkirkan terlebih dahulu". Aku tertawa lagi.

Aku mencintaimu.

Aku tidak akan menyerahkanmu pada perempuan itu. Aku yang selama ini mendampingimu, bahkan saat kau terbaring di rumah sakit beberapa hari setelah kecelakaan mobil itu, aku yang menjagamu dan menyelesaikan semua masalah di perusahaanmu. Aku. Aku. Aku yang mengurus semua!. Sampah!. Plak!. Keras kutampar kembali pipimu. "Jahat ..." kau jahat begini saja aku masih mau menangisimu. Lantas aku tertawa. Berdiri. Berjalan menuju meja kecil disebelah tempat tidurmu. Pun duduk disisi ranjang, membuka laci dan mengambil pisau yang kau taruh di dalamnya. Kilatan benda yang terbuat dari logam pipih tajam itu mampu merefleksikan iblis yang tengah bersemayam dalam diriku, dia tersenyum.

Sudah saatnya.

Kembali aku berjalan kearahmu yang masih terbaring lemah di atas sofa hitam kesayanganmu. "Kau harus siap sekarang, Tuan". Harusnya kau melihat aku saat ini, wajahku terlihat sangat cantik sekarang, di hadapanmu, perempuan kepercayaanmu ini tengah bersiap mengakhiri penderitaanmu. Alasan apalagi yang tak kau punya untuk mencintaiku?

Ada yang kurang. Musik. "Kau mau kuputarkan? Ah, bagaimana jika yang ini?" aku memutarkan instrumen Election-nya Adoration, gubahan Hans Zimmer untuk film kesayanganmu, Angels and Demons.

Menatapmu seperti ini mendamaikan. Kau lebih banyak diam ketimbang meracuniku dengan kata-kata rayuanmu yang sialan. Aku menggengam pisau itu dengan dua tanganku. Bersiap menikamkannya tepat di jantungmu. "Kita akhiri Tuan, kita akhiri". Aku berjanji ini tak akan lama. Aku sudah puas meracunimu dengan aconitine. Aku puas racun itu sempat menyiksamu dahulu sebelum akhirnya kau tumbang seperti ini, tak berdaya. Aku puas karena tidak ada lagi yang bisa memilikimu. Tidak aku. Tidak dia.

Jabh!!

Sial, masih saja ada darah tersisa, ku lap cipratan darahmu yang mengenai wajah cantikku. Ah iya, aku lupa, kau kan belum benar-benar mati, Tuan. Aconitine itu melakukan kerjanya dengan baik, kau melemah, kau tersiksa, untuk akhirnya syarafmu di buat lumpuh tak berdaya. Kau tahu apa yang paling kunikmati, Tuan? saat aku mengganti obat penghilang rasa sakitmu dengan aconitine dan kau malah meminumnya dengan tenang tanpa kekhawatiran. Biasanya kau tangguh dengan luka, Sombong. Tapi hanya dengan dosis dua miligram aconitine yang kuberikan, sudah mampu mengehentikanmu dari kuasa dan kesombonganmu itu. Sungguh, melihatnya adalah kesenangan untukku, kau harus tahu itu, Tuan.

Sakit. Tapi aku sakit, Tuan. Aku mecintaimu.

Jabh!!

Tikaman kedua di jantungnya. Ku pastikan kamu mati kali ini. Ku biarkan pisau itu menancap ditubuhmu. Ku yakinkan bahwa kali ini kau benar-benar mati. Ku dekatkan wajahku padamu "bagaimana rasanya?" pun tersenyum. Izinkan ku belai rambutmu, menciumi bau khas sampo kesukaanmu, masih memabukan rupanya, padahal kau sudah jadi mayat! cih. Lantas ku kecup bibirmu, ku anggap sebagai ucapan perpisahan kita. "tidurlah dengan tenang sayang" ku bisikkan dekat telingamu sambil merapihkan anak rambut yang tak beraturan diatas kepalamu.

Aku bangkit. Merapihkan gaunku yang tampak sedikit kusut. Pun mengatur nafasku normal. Ku tatap sekali lagi sosok tanpa nyawa yang terlihat begitu kosong disana.

"Ternyata ia sudah mati ..." Bibirku menyunggingkan senyum.
"Dan bagaiman dengan sebuah suvenir?" bisik diriku yang lainnya disana.
"Suvenir?"
"Ya, kau tahu maksudku"

Iblis itu mengecup pipiku lembut dan membuat badanku berbalik melihat seonggok tubuh tanpa daya dengan pisau yang masih menancap di dadanya. Aku mengangguk paham, membawa langkahku kembali mendekati sosok kaku itu. Aku berjongkok, mencabut pisau yang tertancap di dadanya.

Crash.
Jari manisnya terpotong, membuat logam emas itu terjatuh bergulir di atas lantai yang dingin dan bisu. Aku mendapatkan suvenirku dan meletakkannya di dalam kantung gaunku. Ku lempar begitu saja pisau yang memiliki sidik jariku, tidak, aku tidak akan bersembunyi untuk kali ini. Aku mengambil cincin pertunangannya yang terjatuh untuk kemudian ku masukkan ke dalam saku celananya, cih. "Barangkali kau masih butuh", tatapan mataku kosong.

Baiklah.

Sudah saatnya aku pergi. Semua sudah selesai. Aku berjalan menuju pintu, membuka kuncinya pelan. Sejenak aku mematung dibalik pintu yang belum terbuka itu. Air mataku berkhianat. Ah ... tubuhku rubuh, terjatuh, dan hanya mampu ditahan oleh kedua lututku yang gemetar. Ku sandarkan kepalaku di balik pintu itu, tertunduk, untuk kemudian tertawa keras dan menangis sejadinya.


Kau. Kau yang membuatku seperti iblis.
Kau. Kau yang tengah terbaring disana dengan tubuh yang sudah tak lagi bernyawa.
Kau, adalah alasan hidup yang tak ingin ku jalani.
Maka, haruskah kali ini aku menyusulmu pergi?

Aku selalu berpikir bahwa kau adalah persinggahan terakhirku.
Tapi kau mendorongku jauh kebelakang, hingga aku tersungkur jatuh tanpa pegangan.
Kau alasan atas semua luka yang ku alami, karena itu, kau pantas mati.





Somewhere only we know, delapan juni duaribu enam belas.

#30HariMenulis Hari ke-8

Komentar

  1. keren dlam rasa cinta nya cuma agak ngeri dikit,,,heee

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe kan sengaja di bikin psyco biar greget #eh.

      btw makasih udin mampiirr lelaay

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy