cinta dan fobia
“Allah...” air mataku
luluh saat menyebut nama Tuhanku. Nafasku memburu dan sebagian tercekat
ditenggorokan. Dadaku sakit seperti orang kehabisan nafas, namun bagian lain
didalam sana terasa lebih perih dan sakit. “Allah...” lagi, kuucapkan nama
Tuhanku sambil menutup mataku, dan sesekali menahan luapan emosi dengan
menggigiti bibirku, tanganku mencengkram kuat kemeja putih
yang kupakai dan sedikit basah oleh air mataku yang deras menetes.
Jika saja aku tipe
orang yang mudah memperlihatkan emosi, mungkin tidak akan seperti ini jadinya,
menyimpan kesal, marah, kecewa, dan mungkin patah hati dalam periode waktu yang
berbeda namun di tempat yang sama, hati.
Ingin hilang saja,
ingin pergi dan tak pernah mengenal orang-orang, ingin diam saja tanpa kata,
ingin bernafas saja tanpa harus menjalani hidup, jadi, setengah mati? Setengah
hidup? Entahlah, aku hanya ingin sunyi menyapa hati menghilangkan semua rasa
sakit hati yang mengendap dan sulit untuk pergi, Tuhan, bisakah?.
Aku sesenggukan,
tenagaku pun sudah habis terkuras air mata yang tak berhenti mengalir sejak
tiga jam terakhir, hanya memberi jeda beberapa menit lantas menerobos keluar
lagi dan lagi.
Aku menatap jengah pada
benda yang tiga jam lalu ku lempar menjauh namun dinding putih kokoh itu
memantulkan benda itu kembali mendekat padaku, tepat diujung kaki ku yang
meringkuk, dengan dua tanda berwarna merah yang tak ingin ku lihat, yang hanya
ingin ku pungkiri, membuatku lagi-lagi menggigit jari-jariku yang membeku
karena sudah lebih dari tiga jam berada pada ruang lembab disudut kamarku.
Positive. Itu makna
dari dua garis merah yang ku lihat pada benda yang mereka bilang namanya
test-pack, sebuah alat pengecek kehamilan untuk para perempuan, wanita bersuami
memastikan kehamilan mereka, biasanya akurat, walaupun tak selalu, dan umumnya
para wanita itu akan menyunggingkan senyum bahagia saat melihat dua garis merah
itu kemudian berlari pada suami-suami mereka, memberitahukan hasil itu sebagai
kabar bahagia. Tapi, tidak bagiku, ini aib, ini musibah dan ini adalah hasil
yang aku peroleh karena terlalu mencintai seseorang tanpa memberi batasan pada
hati untuk tak dikhianati.
***
Fiksi
diatas mampu menggambarkan ketakutan terdalam bagi saya. Tentang perempuan yang
jatuh cinta pada waktu yang tidak tepat dan pada orang yang salah. Ketakutan
terbesar itu menamakan dirinya cinta, rasa yang benar-benar tak berlogika dan tidak dapat dipecahkan oleh rumus matematika. Terdengar picisan dan sangat klise.
Banyak
pula yang mengagungkan cinta. Tapi kita tidak bisa begitu saja menutup mata,
banyak hal buruk terjadi karena sesuatu bernama cinta. Seperti Julius Caesar
yang terlalu buta akan cintanya pada Cleopatra, atau Shah Jahan pada istrinya Arjumand
Banu atau lebih dikenal dengan Mumtaz Mahal.
Iya,
cinta itu menakutkan, bagi saya, karena kita tidak tahu kapan rasa itu bisa
membahagiakan kita atau malah menghancurkan kita. Em… mungkin beberapa orang
hanya akan mengatakan “ah itu sih gimana orangnya”, well, okay, tapi pernah
juga kan merasa sakit karena cinta?
Dan sepertinya ada yang lebih menakutkan dari cinta itu sendiri, yaitu orang-orang yang tidak mampu merasakan cinta dalam kehidupannya, tidak pernah tahu indahnya, bahkan tidak tahu juga bagian tersakitnya. Hambar.
-Menjelang tengah malam, di sudut kamar sebuah kota yang mulai senyap-
#30HariMenulis Hari ke-27
Komentar
Posting Komentar