Fiksi: Full Moon
-Part I-
“Anna!”
Aku
mengerling, menahan langkahku untuk pergi. Satu detik kemudian si sumber suara
sudah berada di belakangku. Aku berbalik kesal. Isabela, Bibiku yang cerewet.
“Apa?”
“Kau
yakin dengan keputusanmu?” Isabela menatap penuh selidik ke arahku. Aku
mendengus sebal.
“Dia
sudah delapan belas tahun, hampir Sembilan belas. Secara hukum dia sudah legal
untuk ku jadikan suami Bels” aku melipat tangan di depan dadaku.
“Si
bodoh ini” Tak! Isabela menyentil keningku keras sekali, hampir saja aku
terpental.
“Curang.
Jangan pakai kekuatanmu!” protesku.
“Kita
immortal, satu sentilan kecil tidak akan membuatmu mati, idiot.” Isabela
memutar bola matanya.
Aku
terdiam. Aku tidak ingin berdebat dengan Isabela, lagipula ini satu-satunya
debatan kami selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Pemilihan calon
suami, Ha! Jika ini tentang masa depanku hingga beberapa ribu tahun ke depan
nanti, tentu saja aku tidak ingin diatur. Ya, mungkin Isabela terlalu khawatir
saja, aku keponakan Isabela satu-satunya yang harus dia jaga, setelah orangtuaku
di musnahkan karena menyelamatkan seorang manusia yang sudah mengetahui
identitas mereka sebagai seorang vampire.
Pilihannya
adalah membuat manusia itu menjadi bagian dari bangsa vampire atau membunuh
mereka, dan orang tuaku menolak menjadikannya vampire maupun membunuh manusia
itu. Sebagai gantinya merekalah yang dimusnahkan dan akhirnya membuatku menjadi
seorang orphan. Hukum sialan. Aku benci para tetua yang sok bijak itu. Lagipula
apa salahnya menyelamatkan orang baik, tidak peduli dia ras vampire atau ras
manusia, kan?
Tiba-tiba
badanku kaku “Bels, aku harus pergi” Isabela menangkap raut ketakutan dari
wajahku.
“Anna,
jangan” larangnya, masih dengan kekhawatirannya.
“Waktunya
hampir habis, Bels!” Aku berteriak padanya, “Please…”
“Anna,
dear, ku mohon, tidak harus dia” bujuk Isabela.
Aku
tercekat, dia kesakitan, waktuku sudah semakin menipis, aku harus pergi
menyelamatkannya. Menyelamatkan calon suamiku!
“Anna!!”
Isabela mencengkram kuat pundakku, menahan gerakanku untuk pergi. Dia menangkap
kilat ketakutan dan kemarahan di mataku dalam waktu bersamaan, tapi dia tetap
tidak mau melonggarkan cengkramannya.
“Aku
ingin dia.” Bisikku sepelan mungkin, tapi aku yakin Isabela mendengarnya dengan
cukup jelas.
“Hentikan
Anna!” Sergah Isabela, kali ini cengkramannya cukup menyakiti pundakku. Vampire
sialan.
“AKU
MENGINGINKANNYA!!” kilatan amarah kini lebih besar terpancar dari mataku.
Aku
melihat raut keras Isabela mulai melembut. Cengkramannya tidak lagi kuat. Pada kesempatan
itu aku menepis tangannya, “I’m sorry Bels” secepat kilat aku melesat menembus
hutan yang gelap, aku harus cepat, sebentar lagi akan turun salju, dan dia akan
semakin kesakitan.
Purnama
penuh akan datang dalam beberapa minggu lagi, aku harus mempersiapkannya
sebelum purnama itu datang. Karena hanya dia yang aku inginkan, jika bukan dia,
maka tidak juga untuk yang lain.
Kami
dari bangsa keturunan vampire murni, setiap tahun pada saat purnama penuh di
langit sana, dipersilahkan untuk melakukan perkawinan dengan bangsa vampire
dari sesama klan maupun dari klan yang berbeda, selama bukan vampire liar yang
dianggap hina oleh para tetua hanya karena mereka tidak punya aturan dan adab
yang di agung-agungkan para tetua itu, cih, mereka anggap diri mereka suci?! Seandainya
tidak ada bibi Isabela, sudah dipastikan akupun akan menjadi vampire liar setelah
di buang dari klan sialan ini karena kami tidak memiliki anggota keluarga
lainnya lagi.
Itulah
mengapa Isabela sangat ketat terhadapku. Aku berada dalam pengawasan dan
tanggung jawabnya sebagai satu-satunya keluargaku yang tersisa. Ah,
ngomong-ngomong, Bibiku ini masih sendirian. Dia betah berlama-lama sendirian,
padahal umurnya sudah hampir 200 tahun. Padahal banyak sekali vampire pria,
entah vampire baru ataupun vampire seusianya yang mengincar bibi Isabela, tentu
saja, bibiku ini primadona klan kami, sayangnya dia belum tertarik dengan
siapapun, katanya sih begitu, entahlah. Tapi aku lebih percaya jika dia
terlibat cinta terlarang dengan seorang vampire liar. Fantasi itu
menggelitikku.
Dalam
beberapa menit saja aku sudah sampai disana, ditempat lelakiku. Aku menatapnya
dari balik atap kaca kamarnya yang berada di lantai atas. Dia terbaring dengan
kemeja putih yang basah karena peluh, wajahnya pucat menahan sakit.
“Sebentar
lagi sayang, aku akan membebaskanmu” bisikku.
Namanya
Vernon, lelaki bermata coklat dan tajam seperti topaz, serasi dengan rambut cokelat
emasnya yang berkilauan, kulitnya putih dan sangat lembut, jangan tanya kapan
aku menyentuhnya, aku sudah sering melakukannya saat dia tertidur. Ya, selama
ini aku hanya mampu mendekatinya saat dia sedang tertidur.
Bulan
depan usianya sudah menginjak Sembilan belas, akhirnya saat itu akan segera
tiba, saat aku mampu menunjukkan diriku dihadapannya dengan sepadan. Usiaku
sudah seratus tahun lebih, tentu saja bangsa kami immortal, perawakanku
layaknya manusia berumur delapan belas tahun dan itu tidak akan berubah.
Selama
ini aku hanya mampu menjaga Vernon secara tersembunyi. Vernon yang tinggal dan
dibesarkan oleh kakek dan neneknya sejak bayi mempunyai fisik yang lemah, dia
sering ditindas teman seusianya, kadang aku gemas, dia punya kemampuan untuk
melawan, tapi dia tidak melakukannya, alasannya karena dia takut tidak punya
teman, terlebih dia tidak ingin menimbulkan masalah untuk kakek dan neneknya.
Kami benar-benar mirip.
Karena
fisiknya yang lemah dan penyakit langka yang dideritanya, pergaulannya dengan
dunia luar sangat terbatas. Karena itu kakek dan neneknya menempatkan Vernon di
kamar atas yang sebagian atapnya berupa kaca, tujuannya agar Vernon dapat
melihat dunia luar tanpa perlu tersakiti dan disakiti.
Tapi
aku tahu, Vernon menderita dan malah semakin sakit dengan kondisinya yang
seperti itu, dia kerap kali memikirkan cara untuk mengakhiri hidupnya saja.
Tentu saja semua itu tidak terjadi, selama ada aku, dia tidak bisa seenaknya
saja mengakhiri hidupnya.
“Kau
milikku” kerap ku bisikkan di telinganya saat dia tengah terlelap, setelahnya
keningnya akan berkerut seolah mempertanyakan, kebingungan. Aku tersenyum.
Aku
selalu menemaninya, terutama saat hujan, dia senang menatap keluar dengan wajah
sendunya dan aku bermain diluar, diatas atapnya, duduk, berjalan, seperti anak
kecil, itu terjadi karena aku bahagia dia mau untuk bertahan dengan hidupnya. Tenang
saja, aku menjagamu, Vernon. Kau tidak akan mati tanpa izinku.
“Arh…”
Vernon mencengkram selimutnya kencang, dia sedang kesakitan.
Sedetik
kemudian aku sudah masuk ke dalam kamarnya. Menatapnya yang tengah kesakitan. “Sebentar
lagi” ya, aku tidak bisa membunuh manusia yang masih hidup tanpa alasan yang jelas,
walaupun aku benci hukum kolot para tetua itu, aku tidak boleh egois, karena
Isabela akan jadi sasaran empuk mereka sebagai satu-satunya waliku.
Aku
akan melakukan hal yang sama, yang dilakukan orangtuaku padaku, mengubahku jadi
immortal karena sakit yang ku derita saat aku menjadi manusia. Mereka penyelamatku,
katakanlah seperti itu, karena aku tidak pernah menyesal menjadi seorang
vampire.
“Arkh…”
Vernon semakin gelisah dan nafasnya mulai tercekat. Aku mendekatinya. Vernon terlihat
menyipitkan matanya, tanda kesadarannya masih ada. Aku yakin tatapannya samar,
dia menyadari kehadiranku sekarang, ah, mungkin dia akan menyangka bahwa aku
adalah malaikat mautnya, ya, tidak salah juga sih.
Pelan,
tubuhnya menggelinjang dan cengkraman tangan Vernon pada selimut semakin kuat,
dadanya naik turun, mulutnya meracau tak karuan, peluh semakin membanjiri
kemeja putih polosnya. Aku berjongkok mendekatinya, mencondongkan kepala tepat
di samping lehernya. Ku bisikkan kalimat perpisahan untuknya, dan crash!
Akhirnya taringku menancap di leher Vernon, membuat gerakan kejang otomatis
pada tubuh Vernon. Ku suntikkan racunku ke dalam tubuhnya yang sekarat.
“Arrhhh…
aahhh…rrrkhh”
Untuk
beberapa saat Vernon mengejang seperti orang yang tengah dicabut nyawa, ya,
tidak terlalu jauh berbeda juga, dia memang sedang berhadapan dengan mautnya
saat ini. Tapi itu hanya efek sementara, karena setelahnya dia akan baik-baik
saja.
Aku
diam memperhatikan. Ada kelegaan dalam hatiku, sekaligus kekhawatiran. Tidak
akan mudah mengendalikan vampire baru, aku pernah mengalami masa menjadi
vampire baru, tentu saja, itu adalah masa paling neraka yang pernah aku alami. Tapi
berkat pengalamanku, aku sudah mempersiapkan semua, dalam beberapa minggu,
Vernon akan baik-baik saja dengan statusnya sebagai seorang vampire baru.
“Anna.”
Refleks
aku berbalik “Bels…”
Isabela
menatap Vernon yang sudah lebih tenang dan terbaring dengan tampannya.
“Bukan
kah dia terlihat sangat tampan?” aku menyeringai nakal pada Isabela. Dia balas
tersenyum, namun tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran dalam raut wajahnya.
“Oh,
ayolah, ini tidak akan seburuk itu Bels” aku memutar bola mataku dan melipat
tanganku di dada, gaya khas ku saat sedang merasa diremehkan.
Isabela
berjalan mendekati tubuh Vernon. Memperhatikan lekat.
“Dia
sudah besar rupanya”
Aku
mengerti maksud Isabela. Vernon adalah bayi dalam kandungan manusia yang di selamatkan
oleh orangtuaku, alasan utama kenapa kedua orantuaku lebih memilih dimusnahkan
ketimbang harus menjadikannya vampire atau membunuhnya saat itu.
Awalnya
aku datang dengan penuh amarah pada Vernon yang baru saja di lahirkan. Saat itu
aku benar-benar emosi setelah mengetahui kedua orangtuaku dimusnahkan karena
seorang manusia. Tapi saat melihat bayi itu, entah kenapa aku tidak bisa
bergerak, dan amarahku hilang begitu saja. Apalagi saat aku tahu jika dia
seorang orphan sama sepertiku, ya, ibunya meninggal beberapa jam setelah Vernon
dilahirkan.
“Bels?”
aku menanti.
“Tetap
tidak bisa Anna, setelah dia jadi vampire pun dia hanya akan dianggap sebagai
vampire liar, dia tidak punya klan.” Isabela tetap dengan penolakannya.
“Astaga,
itu lagi” aku memutar bola mataku. “Dia kan keponakanmu juga Bels” lanjutku.
“Anna,
No.” Aku terkekeh melihat reaksi Isabela atas pernyataanku.
“Well,
hukum kita tidak melarang sesama anggota keluarga untuk menikah kan?”
“Anna!”
aku semakin bersemangat menggoda Isabela.
“Kau
pikir racun siapa yang ada dalam tubuhnya, Bels? Dia milikku. Mi-lik-ku.” Aku
tersenyum puas.
“…”
Isabela menatapku seperti tidak rela.
Aku
tahu, bagi Isabela keputusanku ini terlalu berbahaya, karena saat aku tidak
mampu mengendalikan vampire baru yang aku ciptakan, bukan hanya vampire baru
itu yang akan dimusnahkan, tapi penciptanya pun akan dijatuhi hukuman. Aku
hanya ingin Isabela percaya pada keputusan yang aku ambil ini.
“Benarkah
kau melakukannya hanya untuk menghindari perjodohanmu dengan Stevan, Ann?”
selidik Isabela.
Aku
mengangkat bahu. Stevan, salah satu penerus penegak hukum terkuat dari klan
Alpha, klan vampire kami, vampire kesayangan para tetua yang ternyata
menginginkan aku untuk menjadi pengantinnya, sangat. Tapi sayangnya aku tidak
pernah tertarik padanya, dia adalah vampire ter-sok dan ter-menyebalkan yang
pernah aku kenal. Ditambah dia adalah calon penerus para penegak hukum yang
sialan itu, ha! Sempurna sudah nilai minus dia dimataku.
Ya,
okay, pada beberapa poin aku memang egois. Selain aku mengiginkan Vernon, aku
memang memiliki tujuan lain. Balas dendam? Ya tentu saja. Aku ingin
menghancurkan hukum dan para tetua yang sok suci itu. Aku ingin menghancurkan
mereka sampai tak bersisa.
“Stevan
tidak akan menyerah begitu saja dengan penolakanmu Ann, apalagi jika dia tahu
kalau kau menolak perjodohanmu karena vampire baru.”
“Sudahlah
Bels, biarkan aku mencoba” aku mulai jengah dengan argumen bibiku yang
satu-satunya itu.
“Ann…”
“Dia
akan bangun sebentar lagi” Aku mendekati Vernon yang masih terbaring melawan
pergolakan di dalam tubuhnya. Dia harus berhasil melewati fase ini, harus.
Kulitnya
mulai berubah, pun dengan raut wajahnya, dia terlihat lebih tampan, bahkan
sangat tampan, my man. Aku semakin
tidak sabaran untuk melihat perubahannya, Veron akan menjadi vampire yang luar
biasa, aku sangat yakin tentang hal itu.
“Anna…”
Isabela berdiri disampingku sekarang.
“Dia
bangun” aku berbisik.
Vernon
membuka matanya secepat vampire yang baru lahir, warna matanya yang cokelat
berubah kemerahan. Rahangnya tegas dan garis wajahnya terlihat lebih sempurna,
rambut cokelat emasnya semakin berkilauan, dia membuka mulutnya perlahan,
tangannya bergerak naik menyentuhkan jemari jenjang miliknya pada wajahnya yang
seputih marmer, berkilauan.
Detik
selanjutnya dia duduk, masih kebingunan. Aku hanya diam memperhatikan, dan
terpesona. Dia vampire paling tampan yang pernah aku lihat, sungguh.
“Vernon”
aku memanggilnya. Dan secepat kilat dia memalingkan wajahnya padaku, masih
dengan sorot kebingungan.
“Siapa?”
Sialan, bahkan suaranya terdengar seperti dentingan yang sangat merdu sekarang.
Oh sungguh apakah aku seorang dewa pencipta dewa lainnya? aku merasa tersanjung
kali ini.
Reaksi
tidak terduga tiba-tiba muncul, membuat Vernon gelisah dan kilatan merah di matanya
semakin membara, tenggorokannya mengeluarkan erangan dan eraman, dia lapar.
“Sialan!
Vernon!” Kali ini aku lengah.
Tanpa
sempat ku tahan, Vernon melesat pergi, memecahkan atap kaca kamarnya tanpa
kesulitan. Kakek dan neneknya ada di lantai bawah.
#30HariMenulis Hari ke-19
Tema: Bebas.
Waaaaaah vampire ... q suka bgt ma makhluk 1 ini... makhluk dengan kecantikan n ketampanan yg sempurna....
BalasHapusLanjut kaaaaan... pnasaran... ramee... uri vernon.. kyaaaa.... 파이팅
telimikicihh kakaaakk syudah sukaa, special untukmuh, akan ku lanjutkan ceritanyah kkkkk
Hapus