Jelata

15 Agustus 1945


Ku dengar Jepang sudah menyerah pada sekutu. Ah Benarkah? Sungguh ini seperti mimpi. Mimpi yang jadi kenyataan. Sulit sekali mengusir Penjajah satu itu dari tanah milik kami, Negeri kami. Berpuluh tahun lamanya aku si Rakyat kecil ini menderita karena kesewenangan para penjajah di Bumi pertiwi. Tidak hanya aku, tentu saja, Kakek buyutku ku pun sempat merasakan kekejaman mereka.

Suara senapan lebih sering terdengar, hampir tanpa jeda. Kami seperti binatang ternak. Aku sudah lelah, sangat lelah, hidup penuh tekanan dan ketakutan, tidak pernah ada momen tidur nyenyak selama hidupku, sampai saat ini.

Aku hanyalah si jelata yang merindukan kebebasan.

Katanya ini karena Perang Dunia kedua itu? Sehingga Jepang memutuskan untuk menyerah pada sekutu. Bom jatuh di dua kota besar mereka, Hiroshima dan Nagasaki. Benarkah?. Ah entahlah aku tidak begitu paham peperangan macam ini, si jelata ini hanya satu dari kumpulan cecunguk bau yang berharap bisa mendapat tempat lebih nyaman untuk tinggal dan hidup dengan aman tanpa ancaman, jika itu mungkin.

Ayolah, Bung Karno, Bung Hatta, segerakanlah saja proklamasi kemerdekaan kita! Hatiku berdebar ingin segera menyongsong hari penuh suka cita itu, pasti. Mungkin aku akan menangis sejadinya, aku tidak peduli. Bangsa Indonesia Merdeka!! Aku hanya menginginkan itu!. 

16 Agustus 1945

Kabar yang tadi sempat ku curi dengar dari orang yang berkumpul di selasar, katanya naskah proklamasi sedang di siapkan? Ya Allah. Ini berita gembira. Setelah sempat terjadi pro-kontra antara golongan tua dan golongan muda, sehingga menyebabkan Seokarno dan Hatta di bawa ke Rengasdengklok, akhirnya mereka kembali di jemput oleh rombongan Tuan Soebardjo untuk kembali ke Jakarta. Merdeka itu semakin dekat. Bahkan detak jantungku pun ikut bersorak.

Sekarang bagaimana? si jelata ini ingin tahu.

Bung Karno dan Bung Hatta kabarnya langsung menuju Rumah Dinas Laksamana Maeda, si Perwira tinggi Angkatan Laut Jepang yang mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Apakah si Jepang ini benar-benar akan membantu kita? Ya Allah, si Jelata ini begitu gelisah. Lindungi Seokarno dan Hatta ya Allah.

Ah kenapa belum ku dengar juga kabar gembira itu? Hampir tengah malam sudah. 

17 Agustus 1945

Sudah pagi, si jelata tidak bisa tidur semalaman, menanti. Usut punya usut, naskah proklamasi yang sudah disepakati itu telah di ketik oleh Sayuti Melik. Benarkah? Benarkah? Atau para jelata ini masih sedang di alam mimpi? Plak. Harus ku tampar diriku sendiri.

Berbondong-bondong kami berjalan, ada pula yang setengah berlari, Menuju Jalan Pegangsaan Timur Nomor lima puluh enam. Sudah tiba saatnya. Sudah tiba saatnya. Tak bisa ku sembunyikan raut bahagia sekaligus khawatir dari mukaku yang kecapaian ini. Ku raba dadaku, dan menemukan detak itu kian cepat. Ya, hari yang di nantikan itu sudah tiba.

Matahari mulai terasa menyengat, sudah hampir pukul sepuluh sepertinya. Kami sudah berkumpul, menanti. Menanti sosok itu muncul di mimbar yang sudah di sediakan disana. Aku melihat sosok Seowirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti, orang-orang yang punya peran penting di negeri ini, mereka juga sama, sedang menanti.

Itu dia!!

Mataku terfokus pada satu sosok yang dengan gagahnya berdiri di atas sana, kemudian membuka lembaran kertas yang di bawanya …

“Proklamasi”

Aku menahan nafas.

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoesaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta

Aku bersorak! Aku meneteskan air mata. Ya Allah, akhirnya. Merdeka! Merdeka!

Dan aku melakukan penghormatan pertamaku pada bendera merah putih yang berkibar indah di bawah langit Jakarta.

Mimpi si jelata kini jadi nyata. Kami, Merdeka.





#30HariMenulis Hari Ke-10 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy