3 Fase di 3 Waktu
Waktu terbaik adalah usia ke ...?
Berbicara tentang waktu dan usia, pastinya tidak ada yang tahu
batas waktu atau batas usia kita di bumi ini, apakah akan mencapai usia ideal versi kita yang mungkin
sudah kita susun rencananya, atau malah tidak akan pernah menginjak usia itu
sama sekali.
Secara psikologis, usia yang di kategorikan dewasa adalah
dimulai dari usia 18 tahun, tapi untuk fase “pendewasaan diri” sudah di mulai
sejak usia 12 hingga 20 tahun, masa ini adalah masa dimana biasanya manusia
mulai mengalami yang namanya “fidelity identitas” atau kebingungan peran. Masa-masa
tidak stabil antara emosi dan kondisi serta masa mencari, mencari jati diri.
Untuk saya pribadi, saya memiliki versi “waktu terbaik" yang kategorinya saya bagi kedalam 3 fase usia.
Pertama. Usia 16 tahun, ini adalah usia di mana “persahabatan
adalah segalanya” masa-masa terbaik bagi saya karena saya memiliki teman-teman dan
kenangan yang sangat menyenangkan. Terdapat momentum kebersamaan yang sangat
erat, sampai-sampai keluar jargon “letakan pershabatan diatas cinta”, masa-masa
indah dengan mimpi yang berserakan di dalam note-note atau diary bersama. Walaupun tak ayal selalu ada bagian terburuk pada masa itu, yaitu
pertengkaran, yang biasa berakhir dengan drama maaf-maafan dan nangis-nangisan,
kemudian di akhiri dengan peluk-pelukan.
Jika diingat lagi sekarang, rasanya, kayak ada
geli-gelinya gitu.
Kedua. Usia 20 tahun. Kata orang usia 20 itu penetuan
kedewasaan kita atau tahap dewasa muda. Masa menjalin hubungan menginjak serius
dengan orang-orang disekitar kita, artinya segala drama masa muda sudah mulai
berkurang bahkan nyaris hilang. Usia penentuan rute mana yang mau kita ambil
untuk menetukan masa depan nanti. Tsaaahh.
Untuk saya pribadi, usia 20 memang adalah masa-masa terberat,
di saat teman-teman sebaya sudah memutuskan masa depannya dengan memilih
menikah, saya sedang di pusingkan dengan tumpukan tugas kuliah dan persiapan
skripsi. Tapi saya juga memasukannya kedalam usia terbaik versi saya, karena
untuk pertama kalinya saya bisa benar-benar menghasilkan materi sendiri, tidak
banyak, tapi cukup membuat bahagia. Iya, karena hidup adalah proses, momen “pertama
kali” selalu menjadi kenangan paling bersejarah dalam hidup seseorang bukan?
Ketiga. Usia 25. Usia duapuluh lima tahun merupakan usia
penentuan. Pertemuan pertama dengan sesuatu bernama “komitmen” dan “prinsip
hidup”. Kita sudah cukup mampu untuk menentukan hal-hal penting dalam hidup
kita, dimana kita akan menetap, dan rencana-rencana apa saja yang menjadi
prioritas, di fase ini saya sudah mulai mengurangi beberapa mimpi yang tampak
terlalu muluk dan lebih mengejar hal-hal yang lebih realistis, bukan berarti
saya berhenti bermimpi ya, tidak. Hanya saja ada beberapa mimpi yang kemudian
bertransformasi menjadi hobi.
25 masuk dalam kategori usia terbaik versi saya, karena bagi
saya usia 25 adalah usia kematangan saya dalam segala hal, termasuk kemandirian
(walaupun usia kematangan yang sebenarnya katanya bisa dilihat saaat kita sudah
mencapai usia sekitar 40 tahun). Menyenangkan, karena mampu hidup dan berdiri
diatas kaki sendiri. Namun termasuk pada masa terberat juga, persis seperti
pepatah lama, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpanya. Tapi
itu adalah bagian dari hidup yang harus di jalani bukan di keluhkan, ya kan?
Lagipula saya sangat menikmati masa ini, bagian terbaiknya
adalah karena orang tua sudah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan izin
atas diri saya pada diri saya sendiri. Hal apalagi yang lebih membahagiakan
selain kepercayaan orangtua atas diri kita? Pengakuan bahwa mereka yakin
putra-putrinya sudah tidak akan mengambil keputusan asal yang mungkin bisa
berakibat fatal untuk masa depannya.
*ciyeeeeee.
Pada akhirnya, bagi saya, fase "waktu terbaik” dalam usia seseorang pasti
berbeda-beda, bergantung pada apa yang sudah di lalui dan dimilikinya.
Bandung, 12 Juni 2016.
#30HariMenulis Hari ke-12
Komentar
Posting Komentar