She was here
Tema :
Fiksi Horror
Event :
30 Hari Menulis hari ke-13
Judul : She was here.
***
Saya
Sri, usia sekitar enam tahun.
Kreeek.
Ah dia
lagi, selalu menemaniku tidur tanpa permisi. Aku tidak berniat untuk melihat
siapa dia, sejak kecil, dia sudah sering mengikutiku, entahlah sejak umur
berapa tahun. Menurut cerita ibu, waktu ibu sedang hamil aku, almarhum anak
bungsu ibu yang beda ayah denganku (yang meninggal karena tertabrak mobil saat
usia lima tahun) selalu datang ke dalam mimpi ibu, bahkan terasa hadir menemani
disamping ibu, seperti seorang penjaga. Dan kejadian itu berlangsung hingga
usia kandungan ibu memasuki empat bulan, dia hilang begitu saja, sempat
berpamitan, entah dengan cara apa, hanya dengan seulas senyum.
Tapi,
yang sekarang sering menemaniku, aku yakin bukan almarhum kakakku.
Aku
mulai merasakan keberadaannya, atau lebih tepatnya, mulai mengakui
keberadaannya akhir-akhir ini saja, karena dia sudah mulai membuatku tidak
nyaman. Ibu bilang sejak kecil aku memang sering menangis jika ada makhluk
ghaib yang datang mendekat, dan badanku terasa sangat panas. Jika makhluk itu
belum pergi, aku akan menangis lebih keras lagi dan panasku tidak mau turun.
Angsa
putih.
Ibu
selalu bilang namanya angsa putih. Dan aku benar-benar membayangkannya seperti
angsa, walaupun ternyata bentuk aslinya lebih menyerupai manusia dengan gaun
serba putih, sepertinya.
Malam
lainnya.
Hampir
setiap tengah malam aku selalu kebelet pipis, padahal sebelum tidur aku pasti
selalu buang air kecil dulu. Kasian ibu, selalu mengantarku ke kamar mandi
dalam keadaan mengantuk. Ini karena aku tidak berani, bukan karena dia yang
mengikuti aku, tapi selalu ada “yang lain” lagi di dalam sana, terkadang diam
tersenyum, terkadang melambai seperti memanggil untuk datang kearahnya, dia
tidak memiliki bentuk seperti manusia, lebih seperti bayangan hitam dengan
bentuk seperti monster.
Bagiku
“yang lain” ini lebih menakutkan ketimbang dia yang selalu ikut tidur
bersamaku. Karena “yang lain” seperti berusaha untuk mengajakku pergi, selalu,
dan aku ketakutan. Kadang bisa sampai menahan buang air kecil jika tiba-tiba “yang
lain” tersenyum. Anehnya, ibuku tidak pernah melihat makhluk itu, padahal sudah
ku tunjukkan tempat biasanya makhluk itu berdiam diri seperti menanti, pojok
kamar mandi dekat pintu, saat membuka pintu kamar mandi, pandanganmu pasti akan
langsung menuju titik itu dan “yang lain” ada disana, menunggu.
Satu
tahun berlalu.
Aku
sudah jarang melihat “yang lain” ditempat biasanya. Aku merasa lega. Tapi dia,
si angsa putih ini masih bersamaku. Hanya jika aku ke sekolahan saja dia tidak
ikut.
“Bu,
boleh tidak Sri tidak pindah ke kamar baru?” Tanyaku pada ibu. Hari itu Bapak
sudah membereskan kamar belakang yang selama ini menjadi gudang, itu kamar
bekas kakakku yang sudah menikah sekarang.
“Kenapa
memangnya?” Tanya ibu
“Em
… Tidak apa-apa sih.” Aku enggan menyebutkan alasannya, takut ibu khawatir atau
mungkin malah menganggapku mengada-ada.
***
Sosok
itu sedang berada disini bersamaku, memperhatikan. Aku tidak pernah sanggup
melihatnya secara terang-terangan, hanya ekor mataku saja yang memastikan
kehadirannya.
Aku
duduk diatas kasur di dalam kamar baruku, membaca komik sambil memeluk boneka, sosok
itu diam berdiri, seperti memperhatikan, lama, dan intens, membuatku tidak bisa
bergerak. Ku mohon pergilah.
Rasanya
percuma acuh, semakin bertambah usiaku, semakin aku tahu apa yang selalu
mengikutiku. Hanya satu hal yang sampai saat ini belum aku pastikan, wajahnya,
tidak, aku tidak berminat untuk hanya sekedar bertatap muka dengannya, walau
satu detik saja.
Dia
disini.
Kreeek.
Bunyi
itu lagi. Satu-satunya bunyi yang menandakan kehadirannya secara nyata. Bunyi
yang keluar dari ranjang kayuku seperti seseorang yang baru bangun dari tempat tidurnya.
Dia disampingku. Dengan posisi duduk, menatapku, lagi.
Kamu siapa?
Tapi mulutku terkunci, aku tertunduk.
Seorang
kenalan orang tuaku mengatakan bahwa aku mempunyai kemampuan untuk merasakan
keberadaan makhluk lain di sekitarku, dan jika aku mau, aku bisa melihatnya. Tapi
aku menolak, tidak, itu bukan bakat yang aku inginkan, lagipula yang namanya
anak kecil kan wajar saja dapat melihat hal-hal diluar alam manusia, katanya
sih seperti itu.
Indigo.
Seseorang yang dikaruniai kemampuan khusus untuk melihat sesuatu di luar dimensi
manusia biasa. Apakah aku anak indigo? Ah rasanya tidak mungkin. Aku tidak
pernah melihat sosok lainnya selain si angsa putih dan si “yang lain” itu,
sepertinya.
Memasuki
bangku Sekolah Menengah Pertama,
Malam
itu aku kelelahan dan tertidur. Menjelang dini hari aku merasakan sesuatu di
punggungku, seperti seseorang yang tengah mendekap, entah itu mimpi atau nyata,
aku masih terlalu ngantuk untuk menyadarinya.
Tok
tok.
Ketukan
di pintu kamar menyadarkanku “Sri, bangun, sebentar lagi subuh” Ibu.
“Iya
bu …” jawabku setengah terbangun.
Aku
merasakannya. Pelukan itu. Dan kali ini aku sadar. Ya Allah, tetiba aku
menggigil, pun menarik selimutku cepat. Tidak,
kumohon jangan, jangan menyentuhku, kumohon pergilah!! Percuma rasanya
berteriak dalam kebisuan, tidak ada suara yang keluar. Ku harap ibu masuk saja
ke kamarku dan membangunkanku dengan menggoyangkan pundakku atau sekedar
menarik selimut yang kini menutupi sekujur tubuhku. Aku masih merasakannya.
Assshhhh.
Sebuah bisikan.
Berhenti. Aku benar-benar
menginginkan, siapapun kamu, jangan berusaha berinteraksi denganku!! Mulutku
masih terkunci.
Ibu … Ibu … Bapak …
Aku
ingin menangis. Tapi tidak bisa, hanya sesak yang aku rasakan, hanya keringat
yang mulai membasahi hampir sekujur tubuhku.
“Sri
…” Suara Ibu.
“Bangun
nak” Ibu, Ibu, Ibu.
Aku
melihat cahaya lebih terang, lampu kamarku. Dan rasanya tubuhku sudah lebih
ringan dari sebelumnya. Aku melihat sosok ibu duduk disampingku di sisi
ranjang.
“Ibu
…” Aku ingin menangis tapi ku tahan.
“Ayok
solat subuh dulu” dan aku mengangguk. Berusaha bangun, kemudian duduk disisi
ranjang. Ibu keluar dari kamar. Aku mengambil nafas panjang, menatap lantai
kamarku yang dingin, masih berusaha menenangkan diri dan menyadarkan diri.
Kreeek.
Lagi.
Aku menahan nafas, ujung mataku menangkap kelebatan putih disampingku. Aku memalingkan
perlahan-lahan kepalaku kearah samping, pelan sekali, butuh keberanian
bertahun-tahun untuk mengambil keputusan seperti ini, aku sedang berusaha untuk
memberanikan diri melihat dia, sosok yang selalu berada disampingku selama ini.
Dia
masih disampingku.
Kali
ini aku melihat ujung lain dari tubuhnya, rambut, sepertinya tergerai begitu
saja, berwarna hitam. Aku masih menatap melalui ekor mataku, mencengkram sisi
ranjang kuat, masih dalam keadaan lambat aku memutar leherku. Sekali saja, aku
ingin melihat sosok seperti apa dia.
Kreeek.
Ranjang
kayu itu berderik lagi, kali ini karena aku yang berusaha bergerak, dan dia
mengikuti gerakanku. Pertama kali ku rasakan bulu kudukku meremang, tanganku
semakin dingin, perlahan aku mengangkat wajahku. Angin yang entah dari mana
tertiup kearah wajahku, aku menelan ludah. Rasanya aku tidak mendengar suara
apapun, sangat sepi, sepi sekali, padahal sudah subuh kan? Begitu kata ibu
tadi.
Aku
berbalik pelan, memalingkan wajahku ke sebelah kanan dan… kami bertatapan. Huk.
Kerongkonganku kering. Astaga!! Dia disini! posisi duduk bergaun putih, dengan rambut
terurai panjang dan… aku melihat wajahnya kali ini.. dia… dia… dia bermuka rata,
aku tercekat, sama sekali tidak bisa bergerak atau mengeluarkan suara.
Jika
kalian pernah melihat di dalam sebuah film, saat seseorang berhadapan dengan
makhluk ghaib, dia akan berteriak bukan? Kalian harus tahu kebenarannya, saat
sosok itu muncul dihadapan kita, kita tidak akan sanggup mengeluarkan suara,
kita hanya akan diam tergagu.
Dia
masih menatapku, lama, dan kepalanya bergerak miring perlahan.
Kreeekk.
Assshhh.
…
… … …
Tok
tok. Terdengar ketukan kembali di pintu
“Sri,
bangun nak, sebentar lagi Subuh” … … …
***
Ps:
diambil berdasar pada kisah nyata yang pernah dialami penulis saat kecil, hanya
ditambahkan beberapa adegan “bumbu” pemanis, walaupun bukan pengalaman yang
manis.
#30HariMenulis
Hari ke-13
Komentar
Posting Komentar