Jaman serba konvensional
Q/T: Jika kamu hidup di dunia tanpa GADGET, akan seperti apa? Tulislah mengenai itu.
"Lu bisa hidup tanpa gadget, Bruh?"
"Hari gini lu nanya gua begituan, ya kagak bisa lah Bruh"
"Kenapa?"
"Gadget is everything nowadays Bruh, you think?"
"Tapi pan dulu elu bisa hidup tanpa gadget, kenapa sekarang kagak bisa?"
"Mmm..."
"Kenapa?"
"Ya... iya sih, tapi kan itu dulu, Bruh"
"Terus?"
"Ya... harusnya bisa, sih"
Iya, memang, harusnya bisa lah hidup tanpa gadget. Jika dibiasakan lagi, pasti bisa, minimal tidak mengidap penyakit "ketergantungan gadget".
Flashback ke jaman tanpa gadget ya, ada banyak hal konvensional yang menjadi rutinitas saat itu. Rutinitas yang bikin kangen masa-masa sebelum gadget merajalela, seperti penggunaan telepon umum yang budaya antrinya sangat tertib, pun dengan Warung Telepon atau disingkat WarTel (bahkan setelah handphone mulai berkembang, wartel tidak hanya menyediakan jasa untuk menelepon, tapi juga bisa digunakan untuk mengirim pesan singkat atau SMS, 1 SMS di hargai 300-500 rupiah, biasanya), dan juga kantor pos.
Jaman dulu, gadget itu merupakan barang mewah, cuma dipunyai sama yang sudah kerja atau punya keluarga dengan uang berlebih. Jangankan ngarep punya handphone, bisa kebeli tamagochi aja udah berasa paling kece seantero sekolah. Iya, tamagochi, masih inget kan? itu lho mainan semacam kita punya peliharaan dalam bentuk digital, anak-anak Sekolah Dasar angkatan 90-an pasti tahulah benda satu ini, hi hi. Dan jenis handphone yang pertama kali saya kenal adalah handphone Nokia 5510 atau yang dikenal sebagai handphone sejuta umat pada masanya. Asli, handphone satu ini tahan banting lho, cuma bisa dipakai telepon sama SMS, terus ada game populer di dalamnya, namanya "Snake", main ular naga panjangnya bukan kepalang, eh kayak lagu ya?
Saya pribadi, dulu kealamin banget antri di telepon umum yang harus masukin uang koin seratusan dulu sebelum bisa tersambung, dan kalau sambungan sudah hampir mau putus pasti bakalan ada bunyi peringatan gitu, pip pip, tanda kalau kita mesti masukin lagi uang koin lainnya biar sambungan telepon tidak terputus. Biasanya saya menggunakan telepon umum untuk telepon ke radio dan request lagu ha ha ha, sekarang sih tinggal unduh saja ya.
Saya ada pengalaman menarik untuk momen satu ini, dulu di ajari teman, jadi begini, koin untuk teleponnya itu kita pakaikan benang, nah saat sudah tersambung, dan keperluan menelepon kita selesai, kita bisa mencabut kembali koin itu, jadi kita tidak rugiii, ha ha ha, bandel yaaaa.
Terus, dari jaman Sekolah Dasar, saya memang sudah hobi menulis, terutama menulis diary, yang bukunya itu di kunci pakai gembok kecil, padahal siapa juga ya yang mau baca curahan hati bocah ingusan? kegeeran deh. Nah, buku diary pun merupakan salah satu benda konvensional non elektrik, kalau sekarang posisinya sudah tergeser dengan blog dan facebook kakaaak, sedih ya, tapi saya pribadi masih suka beli buku agenda buat curhat sedikit-sedikit sih, kadang, he he.
Selain menulis diary, saya juga senang surat menyurat dengan teman, dulu ada yang namanya teman pena, eh beneran ada lho, bukan cuma wacana di buku pelajaran Bahasa Indonesia semata. Dan disinilah peran kantor pos amat sangat dibutuhkan, ya walaupun sekarang masih ada kantor pos, namun fungsinya sudah jarang digunakan untuk saling berkiriman surat yang ditulis dengan tangan. Teman pena saya itu rumahnya di Garut sedangkan saya di Bandung. Tapi seru deh, ada hari-hari dimana kita benar-benar menunggu pak pos membawa berita dari yang ku damba, sepucuk surat yang wangi, tapi warnanya tidak merah hati, bagai bingkisan pertama tak sabar ku buka, satu dua dan tiga ah~ eh malah nyanyi kan. Skip.
Peran kantor pos tidak hanya sampai disitu saja, saya juga kerap mengirimkan cerpen-cerpen buatan saya (yang ngetiknya sampai harus rental komputer yang harganya sekitar 1500-2000/jam) lewat kantor pos, ditempeli perangko dan dikirim ke alamat dengan P.O.BOX. Tidak seperti saat ini yang serba mudah, tinggal ketik, kirim e-mail, jaringan internet pun sekarang lebih mudah ditemukan, jaman dulu, sulit sekali, kadang bisa sampai antri ditempat rental komputer dan warnet (Warung Internet).
Nilai plus-nya adalah dulu orang lebih bisa menepati janji. Kenapa? karena duluuuuuu kalau kamu sudah janji besok bakal ketemuan jam sekian di tempat yang sudah disepakati, maka pantang untuk ingkar janji (kalaupun harus dan sangat mendesak, kita akan mengunjungi orang yang sudah membuat janji dengan kita atau minimal titip pesan pada teman yang akan pergi). Sekarang? buat janji, kemudian bisa batal dalam beberapa jam pada hari H-nya, tinggal kirim pesan singkat kilat, cancel, selesai. Melakukan pembatalan janji dengan mudahnya, hai, hello, OH.
Jadi, jika harus hidup tanpa gadget sekarang ini, nampaknya tidak terlalu berat untuk saya, toh saya pernah melakukan hal-hal manual lainnya sebelum kerajaan gadget menyerang bumi dan menjadikan kita budaknya, he he. Saya bersyukur sih, saya termasuk orang yang sebenarnya bisa meninggalkan handphone saya di kamar saat akan pergi, dan hal itu masih sering terjadi sampai sekarang (faktor utama karena lupa). Atau saat pulang kerja, saya bisa menaruh handphone saya dimana saja untuk kemudian lupa -lagi- (ini sih kebiasaan jelek sepertinya). Saya juga tidak keberatan jika harus kembali ke jaman serba konvensional, setidaknya kehidupan sosialnya mempunyai kualitas yang lebih baik, tidak individualis.
Toh, kadang penggunaan gadget sekarang ini lebih ke "keharusan" sih bukan ke "kebutuhan", jadi kalau enggak butuh-butuh amat ya masih bisa ditinggalkan, kan?
Bandung, 20 Juni 2016.
#30HariMenulis Hari ke-20
Komentar
Posting Komentar