The first time

Tema: Jika kamu lajang, menulislah seolah-olah kamu sudah menikah, dan sebaliknya.

***

“Ahhh… emh…” saya meringis menahan tekanan yang muncul di bagian tubuh saya.
“…”
“Ayah… ugh…” saya mencengkram pundak suami saya kuat
“…”
“A… ahhh! Ayaahh cepetaann!!!” aku mulai tak karuan, peluh sudah membanjiri sekujur tubuh saya yang tengah menahan rasa sakit yang semakin lama semakin terasa.
“Aaaahhhh!!!” saya makin kencang meremas suami saya, kali ini lengannya yang jadi sasaran.
“…”
“Why you do this to me?! Ough!! Aaahh!!” saya mencoba menekan rasa sakit dengan menggigiti bibir dan mencengkram lengan suami saya lebih kencang lagi.
“Ayaaaahhhh!!”
“Ya ampun.. iya sayaaaang, sabar sebentar. Sebentar lagi sampai.” Akhirnya suami saya berbicara.
Ini kelahiran pertama dari putri kami, ya, menurut USG, bayi dalam kandungan saya itu perempuan. Hari itu suami saya sampai cuti dari tempat kerjanya karena saya tidak ingin menjalani proses melahirkan tanpa didampingi suami saya. Pun karena ini pengalaman pertama melahirkan buat saya.
Rasanya sakit sekali. Dalam mobil menuju tempat Bidan, suami saya tidak banyak bicara, hanya dengan sabar mendengarkan teriakan dan rengekan istrinya ini. Padahal dia sudah habis saya pukulin, saya cubitin sampai saya gigitin, tapi dia tetap sabar dengan kelakuan istrinya di detik-detik menjelang melahirkan. Kakak saya yang ikut menyupiri sampai geleng-geleng dibuatnya.
“Kamu itu, kasian suami mu disiksa begitu” celetuk kakak saya
“Sakiiittt!!” Ujar saya galak
“Sudah, gak apa-apa lah mas, biarkan dia berekspresi dengan bebas” mendengar itu, saya mengeratkan cengkraman tangan saya di lengan suami.
“A.. A.. Aw.. sakit sayang aduh.. iya iya maaf”  rengek suami saya, dih, menyebalkan.
Hari itu akhirnya kami sampai dengan selamat di tempat praktik Bidan, ada rasa khawatir yang teramat saya rasakan, entah kekhawatiran tentang apa, sementara si kecil sudah sangat mendesak ingin keluar melihat dunia, berkali-kali saya disuruh dan diajarkan untuk mengatur nafas saya oleh Ibu Bidan, tarik, buang, tarik, buang, sampai suami saya ikutan tarik-buang nafas.
Saya beruntung, punya suami seperti dia. Seseorang yang sederhana dengan kepribadian luar biasa. Keluarga saya bilang, kami cocok, dengan saya yang kadang masih suka meledak-ledak emosinya, dia adalah suami yang tidak banyak menggunakan mulutnya untuk berbicara, dengan tenangnya dia hanya akan merangkul saya, memeluk saya untuk menenangkan.
“Ahhh!! Ughh!! Huuu huuu huuu”
“Ayoo sedikit lagi, dorong ya bundaaa”
“A…Ahh.. huuu huuu huuu”
Sekilas saya melihat suami saya ikutan meringis, kadang memalingkan wajahnya seakan tidak tega. Tangannya kuat menggenggam tangan saya, saya tahu hatinya sedang khusuk berdoa saat itu.
“Iyaa bundaa kepalanya sudah terlihat, ayao bundaa dorong lagi yaa”
“Aa… AAAAAAAAAAH!!”
“Oaa… Oaaa”
“Alhamdulillah…”
Akhirnya putri kami lahir. Saya merasa lemas sekali, benar-benar tidak punya tenaga lagi. Kesadaran saya sedikit samar saat itu, saya merasakan suami saya mencium kening saya, dan tak hentinya mengucapkan terima kasih pada saya. Dia menangis, pertama kalinya saya melihat air mata suami saya yang terkenal sangat tenang dalam situasi apapun, membuat saya ikut menangis.
“Ini bayinya ayah, bunda, sudah kami bersihkan”
Bidan meletakkan putri kami di dekat saya, dia sangat tenang dan cantik. Air mata saya luluh, rasa sakit yang mendera sejak awal masa melahirkan rasanya hilang begitu saja melihat wajah dari putri kami.
“Ayah adzanin dulu ya nak” saya berujar, mengingatkan suami saya.
Suami saya duduk disebelah ranjang kami, dan mulai melantunkan adzan. Kami berdua meneteskan air mata yang sama, air mata bahagia.
Hari itu babak baru dalam hidup kami di mulai. Dengan tambahan anggota keluarga baru, tentu saja tidak akan mudah, tapi saya percaya jika kami bisa melaluinya, Suami saya sudah hebat, do’akan bunda ya ayah, biar bunda bisa jadi istri dan ibu yang bisa selalu kalian banggakan. I love you, my little family.

Bandung, dari peta masa depan dan denah khayalan seorang lajang.
#30HariMenulis Hari ke-28

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy