The Piper.



Judul  : The Piper (2015)
Genre : Fantasi, Misteri, Horor.
Durasi : 119 Menit 

Sebelumnya, di-event 30 Hari Menulis hari keempat saya sempat menuliskan sedikit cerita legenda The Pied Piper of Hamelin. Saat sedang mencari-cari referensi serta inspirasi menulis itulah saya menemukan film dengan genre horor fantasi berjudul The Piper yang ternyata dibuat berdasar pada cerita The Pied Piper of Hamelin, Jerman.

The Piper merupakan film debut dari sutradara Kim Gwang-Tae. Plot utama film ini sendiri sama persis dengan The Pied Piper of Hamelin, tentang seorang pria dan seruling ajaibnya yang mampu melenyapkan wabah tikus di desa Hamelin, yang kemudian ceritanya dikembangkan sesuai budaya orang asia dan juga imajinasi sang penulis naskah, namun tetap menarik sekalipun bagi mereka yang sudah pernah membaca kisahnya.

Woo Ryong (diperankan oleh Ryu Seung Ryong) sedang dalam perjalanan menuju ke Seoul untuk menyembuhkan penyakit tuberkolosis yang diderita anak semata wayangnya, di tengah perjalanan dia tanpa sengaja menemukan sebuah desa tak bernama yang dihuni oleh orang-orang yang tampak sangat risih dengan kedatangan tamu tak diundang. Tanpa rasa curiga Woo Ryong pun memasuki desa tersebut dan meminta izin untuk dibiarkan tinggal beberapa hari  sebelum nantinya melanjutkan perjalanan ke Seoul.

Woo Ryong akhirnya diberi izin tinggal di sana beberapa hari oleh sang kepala desa yang sejak awal kemunculannya terlihat cukup misterius. Malam itu, Woo Ryong mendapati jika desa tersebut sedang mengalami gangguan dari tikus yang jumlahnya sangat banyak. Tidak hanya makanan, tikus-tikus ini pun sering menggigiti anak-anak desa. Woo Ryong pun menawarkan diri untuk mengusir tikus-tikus keluar dari desa dengan imbalan uang untuk pengobatan sang anak, warga desa pun menyetujui. Namun, itulah awal yang akan membuat Woo Ryong menyesali diri karena telah memasuki desa misterius tersebut.

Berdasarkan pengalaman saya menonton film ini, Sang Sutradara sepertinya mencoba membangun rasa simpati dan empati penontonnya di paruh awal film lewat penggambaran hubungan Ayah dan anak yang begitu mesra dan hangat, penduduk desa yang mulai bersikap ramah dan juga kesenangan lainnya yang mulai terjalin hingga sekitar satu jam pertama film itu berlangsung.

Tujuannya jelas, untuk membangun atmosfir dan suasana sambil mengumpulkan amunisi yang akan ditembakkan di paruh akhir film. Ya, bukan Korea namanya kalau tidak bisa menyajikan tontonan yang mampu memainkan emosi dan mengiris hati penontonnya. Alur untuk sampai ke klimaksnya memang terkesan cukup lama dan buat penonton yang kurang sabar pasti akan cepat merasa bosan, tapi kalian engga akan nyesel kok, karena di paruh akhir kita bakal disuguhi adegan yang semula dibangun dengan manis dan harmonis seketika berubah menjadi tragedi penuh darah.

Secara keseluruhan, saya akan memberi nilai 6.7 dari 10, dan nilai tambah karena lumayan jijik juga cukup banyak darah. Walaupun sedikit kecewa karena saya merasa scene balas dendamnya kurang lama, ha ha ha.

Pesan moral yang didapat: Tepatilah janjimu.
 __
 
#30HariMenulis Challenge Day 5
Jumlah Kata: 493

Note:  Ryu Seung Ryong juga bermain dalam film Miracle in Cell No. 7, beliau berperan sebagai seorang Ayah yang memiliki keterbelakangan mental. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy