It's nothing, but everything.

Aku tidak pernah keluar rumah. Aku tidak keluar selama 17 tahun, jika kulakukan, aku mati. Maaf karena terdengar menyedihkan. Aku memilliki 100 lebih baju berwarna putih yang disinari untuk membuatnya tetap steril, itu adalah seragamku. Ada ruang tertutup di sekeliling pintu depan, ruangan itu kedap udara, tidak ada yang bisa masuk saat pintunya dibuka. 

Bukannya aku tak ingin keluar rumah, aku tidak bisa. Sedikit virus bisa membunuhku, rasanya seperti aku alergi pada segalanya. Yang aku makan, yang aku sentuh, semuanya memiliki konsekuensi. Aku menderita SCID atau Severe Combined Immunodeficiency, sistem kekebalan tubuhku payah. 

Biar kujelaskan. 

Dalam setiap tetesan darah ada sel spesial bernama limfosit. Beberapa limfosit sangat bagus dalam melawan hal-hal jahat seperti virus dan bakteri. Tapi, aku mengidap SCID, artinya limfositku lebih sedikit dari jumlah yang seharusnya, dan limfositku, tidak terlalu bagus dalam melawan hal jahat. 

Madeline Whitter, Maddy.
Adalah karaker utama dalam film yang diadaptasi dari novel best seller nomor satu versi New York Time karya Nicola Yoon dengan judul yang sama, Everything, Everything. 

Apa kelebihan film ini? Healing! Saya akan menjawab seperti itu secara spontan, karena memang saat dulu memilih untuk menonton film ini adalah karena saya sedang mencari tontonan yang bisa menyembuhkan. Kalian boleh coba, kalau penasaran.

Kok menyembuhkan, memang bisa? Memang kamu sakit apa?

Well, guys, sebelumnya saya menstimulasi otak saya dengan banyak sekali mengkonsumsi film science fiction, horror, dan thriller. Genre itu memang favorit sekali. Tapi suatu waktu saya mulai merasa kalau hidup itu terlalu berat dan mungkin saya sudah tidak lagi kuat hingga hampir berlaku nekat, hush, drama! Ha ha ha. Engga kok, sebabnya sih karena kebanyakan mencekoki diri sama tayangan yang sekitar 70% lebih scene-nya adalah kekerasan, senjata, kaca pecah, mobil hancur hingga banyaknya darah, emosi saya mulai engga stabil, itu perasaan saya. Saya jadi terbiasa dengan banyak darah dan juga koyakan tubuh manusia, bahkan (lama-lama) saya menonton nyaris tanpa emosi.

Kalian tahu bagian mana yang paling mengerikan?

Saat seseorang mulai tidak merasakan emosi apapun saat sedang menyaksikan adegan sadis dihadapannya. Saya takut dengan diri saya sendiri, that’s why I need something can heal me. Save me. (Tapi, tenang saja, kenyataannya saya engga seseram itu kok, beneran, ahaha ahaha.)


Everything Everything, film bergenre young-adult romantis yang rilis tahun 2017 ini sukses membuat saya mesem-mesem keaseman selama berminggu-minggu karena alurnya yang manis dan cukup unik. Kalian tahu rasanya “dikurung” di dalam rumah selama hidup kalian karena tubuh kalian rentan dengan virus dari luar? Saya sendiri tidak bisa membayangkannya, kasian si Maddy, dia engga bakalan tahu gimana enaknya seblak kalau lagi panas, atau cilok goang kalau lagi istirahat makan siang atau mungkin jajan steak di Karnivor yang kompisisi sajian dan harganya engga terlalu bikin tekor.

Lanjut.

Karena keunikan genetiknya inilah, Maddy, tokoh utama kita, terisolasi dari dunia luar dan hanya mampu melihat keluar lewat dinding kaca rumahnya yang didesain sebegitu rupa oleh sang Ibu yang –beruntungnya- adalah seorang Dokter, sehingga sangat mampu untuk membiayai segala sesuatu yang Maddy butuhkan untuk tetap tinggal di rumah. Stranger? Keep out ya, bye!

Maddy pintar, dia banyak membaca buku dan menonton film layaknya anak remaja seumuran dia, thanks to the internet, even you are inside the box, you have to be grateful if there is wifi you can connect with, ha ha ha. Maddy juga senang me-review dan spoiler kayak kita. Jadi, engga ada yang berbeda dari dia selain SCID-nya. Dia sudah terbiasa untuk berada didalam rumah saja, sampai suatu hari Thanos mendapatkan semua batu dan boom para Avenger pun menghilang dan planet kita berada diambang kehancuran.

Krik.

Olly, si tetangga baru tampan dan menggemaskan pun muncul, kyaa kyaa Nick Robinson donk yang meranin kyaa kyaa! Woi Mbak, kontrol diri woi!

Oh iya, lupa. Ehm, ehm, lanjut ya.

Sosok Olly, bagi Maddy (dan bagi saya) adalah sosok yang “hey ada barang favoritmu yang lagi diskon di Sh*pee lho, dapetin juga cashback-nya!”, intinya, menggiurkan. Tolong, biarkan saya memakai kata itu, please please. Hidup Maddy hanya berputaran pada individu yang itu-itu saja, orang-orang yang sudah dapat approve dari ibunya saja yang boleh berinteraksi dengan Maddy, yaitu perawatnya dan anak perawatnya. Makanya kedatangan Olly sebagai boy next door yang baru saja pindah ke lingkungan mereka sempat membuat perasaan Maddy tidak menentu, aw.


Filmnya, healing, seperti sebelumnya saya bilang, manis, agak silly dan punya twist diakhir. Surprisingly dialognya engga bikin saya cringe sebagai penonton yang punya angka 2 di awal umurnya ha ha. Apalagi cara mereka bicara, saya suka, bisa dibilang saya ini sangat suka sama aktor atau aktris yang kalau ngomong itu gerakan bibirnya enak buat dibaca, apalagi dengan dialog berbahasa Inggris, macam Emma Stone di film Easy A, salah satu film favorit saya.

Proses bagaimana Maddy dan Olly berkenalan lewat chatting pun menurut saya manis, cara Olly untuk memberikan nomor handphone-nya pada Maddy terbilang unik, juga penggambaran saat Maddy dan Olly mengobrol disebuah restoran yang sebenarnya mereka hanya sedang chatting di kamar masing-masing. Lalu bagaimana hubungan si gadis dalam istana kaca dengan si pria manis yang ingin mencoba masuk istana kaca itu?

“Apa kau seorang tahanan rumah?”

“Apa yang membuatmu berpikir kalau aku adalah tahanan rumah?”

“Karena aku tidak pernah melihatmu keluar satu kalipun.”

“Aku bukan tahanan rumah tapi aku tidak bisa keluar.”

“Sangat miserius.”

“…”

“Apa kau hantu? Sialnya jika ternyata tetanggaku sudah mati.”

“Aku, 98% masih hidup.”

“Jadi kenapa, karena seorang pria, atau kau dikurung?”

“Astaga. Bagaimana jika begitu?”

“Aku akan kebingungan.”

“Kenapa?”

“Apa kau punya pacar?”

“Tidak. Aku tidak punya pacar dan hei, aku tidak sedang hamil. Apa kau mengira aku sedang hamil?”

“Ya, sepertinya.”

“…”

“Akan sangat aneh jika aku mendekati seorang gadis yang sedang hamil, jadi…”

“Kau benar.”

“Kau tidak ingin tahu aku memiliki pacar atau tidak?”

Tidak.”

“Aku terluka. Rasanya agak sakit.”
 

It suits my healing day, much. Some review says that this movie has sweetness of the 1976 John Travolta movie updated for the 21st Century, it can also be understood as “The Fault in Our Stars” meets “American Beauty”.

Ngomong-ngomong, si pemeran Maddy, Amandla Stenberg adalah Rue di film The Hunger Games lho (giiiiirls you are growing up so beautifully) dan pemeran Olly, Nick Robinson merupakan tokoh “Zombie” di film The 5th Wave barengan Cloe Moretz, juga sebagai si Kakak gemas Zach Mitchell di Jurasic World (keponakan dari tokoh utama wanita) which is saya nonton dua-duanya di Bioskop dan bahkan saya engga ngeh itu dia, pffft.

Oh iya, mungkin buat yang sudah nonton Love Simon, Nick Robinson ini pemeran utamanya ya dan film itu membuat Nick makin di kenal. Tapi, saya engga nonton film itu, karena masih ingin berdelusi dengan Nick sebagai Olly, dan belum ingin tersadar dari delusi itu.

Selanjutnya, kekurang film ya?

Seperti kebanyakan jenis film yang diadaptasi dari buku, selalu ada saja yang merasa kecewa atau sekedar kasih rate “good enough” sama filmnya. Terutama untuk sosok Olly, yang katanya sih kalau dibuku (for your information, saya sendiri belum pernah membaca bukunya) Olly itu digambarkan botak dan selalu memakai topi hitam juga setelan serba hitam, berbanding terbalik dengan Maddy yang berseragam serba putih. Walaupun begitu mereka cukup puas dengan penokohan Olly oleh Nick Robinson, setidaknya dia bisa menonjolkan karakter Olly yang easy going dengan baik.

Untuk alurnya sendiri, jika dibandingkan dengan novelnya pasti tidak akan terlalu sama, harus selalu ada yang “dikorbankan” bukan? Alasan utama jelas durasi. Well, begitulah jika buku diangkat menjadi film, kalaupun sama-sama sukses, itu adalah bukti kerja keras dan kerja sama yang baik antara sutradara, penulis skenario, maupun author buku itu sendiri, all team, actually.

Everything Everything may not exactly be “all that”, but it is creative and charming. It’s 7.8/10 from me. 

~My life, is better with you in it.~

 #30HariMenulis challenge Day-3
Jumlah kata: 1.271

Note: Film ini terbilang cukup sukses dan dinobatkan sebagai pemenang untuk kategori choice movie awards diacara Teen Choice Awards.

--- 
Terima kasih sudah membaca!
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy