Dear, Bocah kecil.

Kepada kamu yang setiap malam minta dibangunkan agar bisa ikut serta mencari jangkrik untuk pakan ayam Bapakmu.
***
Masa itu adalah kenangan paling indah yang kamu miliki, sisa dari masa kecil yang hampir delapan puluh persennya kamu lupakan, tanpa pamit, tanpa memberi sinyal kepergian, memori itu menghilang perlahan. Bukan salahmu, hanya saja kenangan-kenangan itu mulai memecah dirinya menjadi kepingan puzzle yang tak mampu bertahan lama dalam satu kesatuan utuh, dia retak, dia menghilang, satu persatu lenyap seperti buih.
Entah sejak kapan dimulai, Bapak mulai sering mencari jangkrik bersama satu orang teman dekatnya -untuk pakan ternak ayamnya yang tidak seberapa banyak-, setiap malam, dimusim kemarau, dimana pesawahan mengering dan tanahnya retak dimana-mana -disanalah jangkrik-jangkrik itu tinggal-. Maka setiap malam pula aku minta dibangunkan jika aku tertidur selama menunggu, ah tidak, aku memang tidak mampu menunggu hingga tengah malam, saat itu -jika ingatanku tidak mengelabuiku, lagi- sepertinya aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, atau kelas satu sekolah dasar, selalu minta dibangunkan jika Bapak hendak pergi mencari jangkrik.

"Kenapa mau ikut?"
"Ingin mencari jangkrik juga"
Bapak, dasarnya memang bukan lelaki yang akan menolak permintaan anaknya, terutama jika dia yakin bahwa itu adalah sesuatu yang aman.
"Ya sudah ikut" mendengarnya membuat senyumku mengembang, deretan gigi tikus -banyak orang yang mengatakan gigiku seperti gigi tikus saat itu, kecil berderet- pun ikut hadir.

Setiap jam delapan malam mataku sudah mulai mengantuk, hari pertama ikut aku memaksanya tetap terbuka walaupun sesekali tetap terkantuk.
"Tidur saja" Bapak melihat-lihat saluran di TV dengan merk "Sakura", benda elektronik yang saat itu nampak cukup mewah, bagi kami. Aku-nya istiqomah dengan tidak mau tidur, takut tidak dibangunkan.
"Nanti dibangunkan" janjinya terdengar sekilas ditelingaku yang dalam hitungan detik sudah hilang kesadaran, ngantuk berat.

Terasa seseorang menepuk-nepuk lengan atasku, tidak begitu keras, tidak juga pelan, mataku terbuka perlahan namun masih sangat mengantuk, tubuhku bangun terduduk tapi mataku masih tertutup, sepertinya mata dan badanku mulai tidak sinkron. Hal yang paling teringat saat itu, tangan Bapak yang terasa besar bagiku mengangkat tanganku, beliau duduk disampingku, lantas mengarahkan badanku ke atas punggungnya.
"Ya sudah di gendong" pertama kalinya aku diajarkan bahwa seorang lelaki pantang ingkar janji.

Malam itu aku ikut mencari jangkrik, dipunggung Bapak, dengan mata tertutup, namun sayup ku dengar suara-suara jangkrik itu, pun malah membuat mataku semakin rapat, rasanya seperti mendengar lagu nina bobo yang merdu dan menenangkan.

"Yang semangat mau ikut cari jangkrik malah tidur" besoknya Bapak menyindirku saat kami berjalan beriringan menuju sekolahku, aku hanya nyengir.
"Nanti malam boleh ikut lagi Pak?"
"Boleh" satu kata yang membuatku merasa sangat bersyukur dan berterimakasih, hingga saat ini.

Malam yang sama kembali berlanjut, aku ketiduran, Bapak membangunkanku, dan putri kecilnya tertidur dipunggung Bapak ditemani dengan nina bobo para jangkrik, pun dengan malam-malam selanjutnya tetap berjalan seperti itu.
***
Dan kepada kamu yang masih sangat jelas mengingat memori pada masa itu, secuil kebahagiaan dari masa kecil yang sama berharganya dengan keberadaan dirimu saat ini, walau tidak banyak, setidaknya itulah kenangan yang masih mampu kamu ingat dari ribuan buih kenangan yang entah, tetap ingatlah hal itu, jangan sampai bagian dirimu yang lain kembali "mengambil" paksa kenangan itu dan lantas dihilangkan, bertahanlah, sampai akhir.


Catatan bocah kecil:

"Anak-anak yang lain bisa tertawa terbahak dengan bebas, teman-temanku pun begitu, tapi saat aku mulai terbahak dirumah, Ibuku bilang jangan, jelek, tidak bagus, ya sudah aku diam".

"Seorang tamu datang, ku bawakan minuman, aku melihat temanku melakukannya dan dia mendapat pujian dari ibunya, aku ingin sekali begitu jadi aku datang ke ruang tamu. Namun, Ibuku bilang aku seharusnya tidak keluar, nanti orang takut (merasa jijik) padaku. Aku tahu, saat itu aku sedang kena cacar dan beberapa muncul dimukaku, Ibuku bilang itu membuatku tampak lebih jelek. Aku tertunduk dan kembali kedalam rumah".

"Saat aku mencoba melakukan sesuatu untuk membantu, aku mendengar ucapan bahwa aku tidak becus dalam melakukan hal ini maupun itu, lantas beberapa orang dewasa dirumah mengejekku dengan mengatakan aku anak manja dan tidak bisa apa-apa (padahal aku sudah mencoba), mereka menyuruhku diam saja. Entah kenapa hatiku sakit mendengarnya, ah aku tidak tahu itu perasaan seperti apa, tapi terasa sangat tidak nyaman dan membuatku sedih, hari itu senyumku perlahan memudar".
***
Menjadi tak banyak bicara, selalu menunduk dan sedikit tersenyum adalah bagian dari jati diri yang secara otomatis terpupuk sejak anak itu masih bocah ingusan. Sederhananya kebahagiaan yang ia dapat saat diperbolehkan untuk ikut menangkap jangkrik adalah sama dengan sejuta kebahagian yang mungkin belum tentu ia dapat dari hal lainnya saat itu, setidaknya disanalah jiwanya bisa bebas tanpa tekanan para orang dewasa yang kata-katanya terkadang terdengar begitu menyakitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy