Tentang seorang pecinta dan kisah cintanya (Bagian 1)

Hari ini aku berada dibalik tembok, bersandar dan menelungkupkan wajah diantara dua tangan yang melipat ditopang dua lutut yang bersisian. Aku mengingat ...

Mengingat setiap kejadian yang sudah terlewati sepanjang tahun ini. Dari rasa yang sepahit obat demam hingga rasa manis semanis madu tanpa perlu campuran gula. Aku berjalan, kearah yang menurutku sudah benar, namun setelah berjalan cukup lama, aku tersesat. Linglung.

Selama beberapa masa aku hanya diam, ditempat yang sama, masih kebingungan, masih mencari jalan pulang, tanpa berbuat banyak. Pasif. Tidak, bukan hanya pasif, tempat asing ini terasa begitu nyaman, membuat aku tidak ingin pergi, aku tahu aku berada ditempat yang salah, harusnya aku cepat pergi, mencari jalan kembali. Tidak bisa, ini salah, aku tahu, tapi kenapa aku belum mau beranjak pergi?

Sekian lamanya aku menetap, menikmati zona asing ini, membaurkan diri, berharap jika ini tak akan lagi terasa asing, berharap jika ketersesatan ini adalah skenario sang Maha Tahu disana, berharap jika ini bukan trik setan untuk mendapat teman. Aku menetap.

Yang ku cium adalah aromanya yang memabukan, yang ku lihat adalah sinarnya yang menyilaukan mata, yang kuraba adalah halusnya dekap terasa tulus sampai ke tulang yang kaku karena takdir, yang terasa adalah cinta, rasa asing yang entah mengetuk pintu mana sebelum akhirnya masuk ke sela jiwa yang tengah hampa. Ah, mungkin dia memang tidak pernah mengetuk. Kemudian aku terlena.

Aku tidak ingin pergi, aku menjadi egois pada tempat asing ini. Disini bukanlah tempat penuh keanehan seperti wonderland ataupun tempat penuh misteri keegoisan seperti neverland. Disini adalah perpaduan dari keduanya, membuai sekaligus menguji. Tapi aku betah. Aku pun berkenalan dengannya, dia yang muncul begitu saja seperti tuan kelinci di Wonderland, entah Peter pan dari Neverland. Dan aku buta.

Jika kamu jadi aku, kamu pun tidak akan bisa mengelak, mungkin tidak dengan cara yang sama, tapi mulutmu akan bungkam untuk berkata "tidak", kakimu akan kaku untuk berbalik arah, matamu akan buta untuk mencari dimana jalur yang seharusnya berada. Pada akhirnya kamu akan menerima.

Menemukan tempat asing karena kehilangan arah namun malah membuatmu nyaman? Tidak ada pembangkangan dan penolakan. Tapi semakin lama dibiarkan, semakin betah menetap, semakin terlena untuk beranjak pergi kemanapun, apalagi aku bertemu dia disana, tuan kelinci atau titisan peter pan, entah, yang aku tahu, mungkin aku sudah terkena kutukan atau sihirnya dan aku jatuh cinta.


"Sesuatu yang selalu dikatakan indah itu adalah cinta.
Rasa yang lebih rumit dari rumus matematika.
Rasa yang kerap mendatangkan luka dan air mata.
Cinta itu terkadang jenaka, menjadikan orang asing sebagai pemegang tahta,
lalu kemudian si penguasa membuatnya buta."




Aku sedang tidak ingin kembali, untuk saat ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy