Dia itu Aku, bukan?

Kemarin, saat pulang ke kampung halaman, sebut saja demikian.
well, bisa dibilang ini hanya jadwal rutin ku untuk mengunjungi kedua orangtua-ku diakhir minggu setelah beberapa hari sebelumnya (atau mungkin sekitar dua minggu sebelumnya) bergelut dengan peluh karena tuntutan pekerjaan.

Aku membuka lemari lamaku, di kamar yang kini menjadi tempat pasien Mama (dulu sempat menjadi kamar sementaraku, tapi karena umur Mama yang semakin senja, beliau mulai membuka praktek di rumah saja, dari pada berkeliling atau datang ke tempat ibu-ibu hamil yang siap melahirkan atau sekedar menyembuhkan keluhan mereka tentang kewanitaan, ya, hal-hal seperti itu). Dan, kamarku? well, sepertinya aku harus merelakan kamarku dibongkar, barangku dipindahkan dan entah "mereka" semua terpencar begitu saja, jangan tanya Papa, beliau tidak akan mau tahu, karena selalu berkilah "memindahkan barang atas perintah Mama", tanya Mama saja? hum... urungkan niat itu, Bunda ku tercinta itu sudah sering lupa dimana dia menaruh barang-barang, terutama jika barang itu terlalu banyak dan berserakan. Aku? ok, pasrah saja, mau bagaimana lagi. Kamar ku itu salah satu "korban" gempa saat Gunung Merapi di wilayahku menggeliat dan terbatuk ringan, see... batuk ringan saja seperti itu akibatnya. Ok, skip tentang kamar.

Aku menemukan buku-buku lamaku, mulai tahun 2002 sepertinya, beberapa masih ada, namun beberapa lagi entah. Dan ini adalah buku tulis, ya, kalian tahu, sangat jarang buku tulis yang dimiliki semasa kecil masih ada diumurku yang bahkan sudah seperempat abad (aku merasa tua mengatakan perumpamaan ini, aish!).

Iseng saja, aku membuka beberapa halaman, isinya membuatku tersenyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, anak kecil yang menulis kata-kata puitis yang sok romantis itu adalah aku, sejenak aku tak percaya dan berusaha menahan tawa.
Clap! lagi-lagi aku menahan tawa, atau kadang dahiku berkerut.

Anak kecil ini, si pemimpi yang tak pernah mau menghentikan mimpinya, entah saat dia tengah terlelap dengan mata terbuka atau sedang terbangun dengan mata terpejam.

Anak kecil ini, si penyair cilik yang sok romantis dan mengerti cinta, padahal bisa saja yang dia rasakan hanya cinta monyet sebelah pihak yang bahkan saat bertemu langsung dengan sang pujaan hatinya, hanya mampu tercekat dan membeku kelu.

Anak kecil ini, si perasa yang cengeng dan terkadang manja namun sok tegar, menolak untuk mengeluh atau berlari kedalam pelukan sang Mama dan hanya mampu menangis di sudut ruangan sepi tanpa mau ditahui orang lain.

Anak kecil ini, si pendiam yang menyukai sunyi dan hanya mampu bisu saat ramai diantara orang terdekatnya, yang memilih melihat dan mendengar tanpa banyak bicara lantas diam-diam saja berjalan mundur, berlari keluar dari keramaian, mengambil pinsil, pena dan bukunya lalu mencari sepi dan mulai menuliskan berbagai ide gila, impian absurd yang bahkan tak dipikirkan oleh anak-anak sebayanya.

Anak kecil ini, menjuluki dirinya sendiri sebagai orang aneh yang sedang berpura normal, membaca keadaan, menemukan fakta, namun tetap menulis khayalan dan tak pernah berhenti bermimpi. Si Kecil yang ku kagumi yang ternyata aku merasakan rindu atas keberadaannya yang sekarang entah dimana.

Aku, seperti ingin memiliki  lorong waktu, untuk kembali bertemu dengan anak kecil itu, di sudut yang entah, dan ku yakin, dia masih setia dengan mimpi-mimpinya disana, walaupun sendirian, dia... tidak akan menyerah, setahu aku dia memang seperti itu.

Lembar demi lembar aku baca, ceritanya, puisinya, syairnya, lagunya, bahkan mimpinya, membuat ku jatuh cinta sekaligus sakit. Ingin mengulang waktu yang jelas tak kan pernah kembali.
Aku hanyalah orang yang mengatakan dirinya "dewasa" dan mulai terlupa pada mimpinya.
Aku hanyalah si dewasa yang sok realistis, sok kritis dan sok cinta.

Aku si dewasa pencemburu yang menatap kelu pada si kecil yang terlihat sangat nyaman dengan mimpi-mimpinya.

Kamu! hey, kecil... mau berteman dengan orang sok dewasa ini? sepertinya aku butuh kamu....
Tetap saja, ego. dasar si dewasa. Lucu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Genteng dan Rujak Kanistren

Usai Disini

A Boy Called Billy