Postingan

Hanya coretan (2)

Menangis lagi. Sebegitu mudahnya aku masuk ke dalam cerita "seseorang" bahkan yang tidak begitu kukenal baik. Apakah bisa dikatakan sebagai empati? Beberapa hari yang lalu, satu berita mampir di salah satu media sosial, isinya "seorang pria bun*h d*ri", saat pertama membaca beritanya? Ya, aku menangis. Pertanyaan pertama yang terbesit di benakku adalah apakah sangat berat? Sini ceritakan padaku saja ... Ah, seandainya saja kita saling mengenal. Kembali menghadapi realita. Aku menemukan diriku berdiri di ujung tebing. Pernah, dulu sekali, aku menganggap hidup begitu berat dan ingin segera mengakhirinya. Aku merasa, saat itu, aku bukan pengecut dan sangat mampu untuk menyakiti diri sendiri tanpa sedikitpun rasa takut. Kenyataannya, aku masih di sini, menjalani takdirku, hidupku, yang kini lebih banyak kusyukuri dan kunikmati.

Hanya coretan (1)

"Sudah ada calon?" Pertanyaan itu akan terus muncul saat kita yang memang masih sendiri (dalam status pernikahan) bertemu dengan keluarga di hari-hari penting. Menghadapi pertanyaan seperti itu, mungkin bukan hal yang mengenakkan bagi sebagian besar kita. Tapi setelah melaluinya dalam beberapa fase, manusia akan cenderung menjadi terbiasa. Tentunya bukan aku saja kan yang merasa seperti itu? Pernikahan adalah fase hidup yang dianggap harus dimiliki semua orang, kalaupun cerai, ya tidak apa-apa, asal sudah "pernah" menikah. Mungkin begitu? Saat ini, aku sendiri sudah dalam posisi "doakan saja ya" saat mendengar pertanyaan "kapan menikah?". Tidak ada rasa kesal, marah ataupun sedih. Aku tahu sebagian besar dari mereka yang bertanya, memang tulus bertanya tanpa maksud menyakiti. Aku juga tahu, ada sebagian kecil dari mereka yang mengungkapkannya secara tersirat, tidak dengan pertanyaan, tapi dengan pernyataan seperti "semoga menyusul secepatnya...

Untuk dikenang (1)

Akhir Desember 2023. Cukup lama, kukira. Menyapamu bukanlah bagian dari rutinitasku lagi. Maaf. Kadang, aku merasa diriku di masa lalu lebih baik dalam berliterasi dibandingkan dengan diriku saat ini. Tidak ada penyesalan, serius. Pernah, di satu titik menyerah. Ternyata, keterusan. Saat membaca perkenalan singkat di Twitter, oh sekarang X, ya, di sana. Aku melihat sosok perempuan naif yang masih memiliki harapan dan semangat tinggi tentang literasi. Perkenalan singkat itu masih di sana. Sering sekali mendengar, bahagia itu bergantung pada diri kita sendiri, bukan orang lain. Setuju. Walau kadang, si "orang lain" ini ikut andil dalam menghilangkan semangat. Sesimpel "wah keren, iya nanti aku baca". Kemudian? Lupa. Berakhir? Kecewa. Tidak, aku tidak menyalahkan, toh urusan hatiku, perasaanku, itu tanggung jawab aku. Mungkin, blog tua ini bisa kujadikan buku harian daringku saja, ya, walaupun tidak berjanji akan mengetik setiap harinya, he he. Tidak akan ada yang pena...

Goodbyes don’t have to be sad

I’m Fine ... I’m Fine ... You can leave me now. It’s alright, don’t be sorry. I’m Fine ... I’m Fine ... After time, even the pain will be forgotten. Don’t look back and leave. I’m alright. I’m Fine ... I’m Fine ... I’m Fine ... Jika semesta mengantarmu pada ujung sebuah jurang dan memaksamu menyerah, jangan pernah menjadi goyah. Berkomunikasilah dengan Tuhan mu, sebelum resah mendera. Lagi pula jalan satu-satunya hanyalah melewati jurang itu, dengan selamat. Terkadang hidup menuntutmu agar mampu berjalan di atas kaca pecah yang berserak, dan kamu harus bertahan tanpa memedulikan rasa sakit. Dan terkadang pula kamu bertemu sekumpulan idiot yang tengah terbahak diatas tumpukan sampah uang yang berbau tidak sedap, pun membuatmu jijik. Dan terkadang pula ada tangan yang harus kamu lepaskan untuk terus bisa melanjutkan langkah ke depan, dan belakang bukan sesuatu yang bisa kamu tengok kembali. i'm too sensitive to be an adult, i still don't know the method, it's...

Selamat, kita lulus!

Gambar
Hallo, nama saya Suci. Suci adalah “seorang perempuan biasa yang sok bisa merangkai kata-kata. Ngakunya penulis pemula yang masih belajar bercerita melalui kumpulan aksara”. Barusan itu adalah tulisan saya bertahun-tahun lalu pada kolom perkenalan di salah satu media sosial yang saya gunakan, Twitter . Membaca dan menulis. Bagi saya keduanya sama penting. Kenapa? Jika ditanya kenapa jawabannya adalah karena. KARENA dua hal itu seperti kegiatan satu paket, saya menyebutnya sebagai nutrisi dan olahraga otak, sebuah investasi besar dengan jaminan masa depan gemilang. [Iya gituuuuu ? Di-iya- in aja atuhlah , ya, ya?] Masa depan yang gemilang di sini, bagi saya, lagi, tidak selalu berhubungan dengan pemasukan berupa recehan maupun lembaran, tapi lebih kepada kesehatan otak, mecegah dari pikun dini. Entah ada penelitiannya atau tidak (eiiii, males nyari yaaa) tapi saya selalu menyimpulkannya seperti itu. Kalau bukan saya yang menyayangi otak sa...

Ini Dilanku, Tahun 2018.

Sudah jam sebelas malam, dan aku masih sibuk berguling di atas kasur minimalisku. Besok ada kelas pagi, aku harus cepat tidur, jarak rumah dan kampus yang terbilang lumayan membuatku harus berangkat lebih pagi demi tidak diusir dari ruang kelas karena terlambat, huft. Kupaksa mataku terpejam, tapi gagal. “Agh!” Aku menendang selimut, sebal, ini gara-gara tadi sore aku menonton film horor di bioskop. Selalu saja berakhir seperti ini, gelisah. Rasanya adegan-adegan yang aku lihat tadi terus saja membayang di kepala. Kesal sekali. Kuputuskan untuk membaca buku saja, mungkin dengan membaca buku bisa membuatku mengantuk. Semoga saja mempan. Aku pun menyalakan lampu di mejaku dan meraih satu buku yang kuletakkan tidak jauh dari posisi lampu. Ting! Gerakan tanganku terhenti saat aku melihat ada pesan masuk pada gawaiku lewat aplikasi Fine . Melihat nama yang muncul di sana, aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku. Daripada buku, tanganku beralih meraih gawai berwarna...